Oleh : Waidkha Yuliati
Kaum abangan dewasa ini sering digunakan untuk menyebut
masyarakat yang rela memeluk Islam, naun tetap bertahan membiarkan dirinya
larut kedalam kepercayaan dan ritus-ritus lama yang seudah berurat akar sampai
ratusan tahun. Secara etimologis, kata abangan berasalal dari bahas Jaba abang yang berarti merah. Seperti merahnya kulit
anak baru lahir atau jabang bayi.
Kata abangan kemudian mengandung makna konotatif, yaitu orang-orang yang masih
‘baru’ dalam keislamannya.. Mereka ini yang dikenal sebagai Islam nominal atau
lebih popular dikalangan santri dengan istilah golongan abangan. [1]
Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat
dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan
kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut.
Didaerah-daerah Pantai Utara, tempat kebudayaan Hindu kurang berpengaruh, Islam
lebih kuat dan mampu merembes dalam kehidupan social paguyuban santri.
Sebaliknya, ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam
cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk
menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah dating lebih
dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antithesis
bagi golongan santri. Menurut pendapat orang Jawa, seperti yang juga
diterangkan oleh Koentjaraningrat istilah santri dan abangan hanya menujuk
kepada dua varian religious dalam kebudayaan Jawa. [2]
Penggolongan secara horizontal antara golongan santri dan abangan pasti
merupakan garis antar-kategori yang bersifat nisbi. Latar belakang dan pandangan yang berbeda diantara
dua kelompok tersebut pada akhirnya melahirkan pemahaman dan pandangan yang
berbeda terhadap konsep negara dan paham kebangsaan atau nasionalisme.
Kebangsaan dalam Pandangan Kaum Abangan
Persatuan
dalam Sarekat Islam tahun 1920-an sebagai organisasi yang memiliki jumlah massa yang
besar diwujudkan berdasarkan ideologi Islam. Sebagaimana dirinci pada anggaran dasarnya ”…Hanya orang
Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat diterima dan bahwa pangreh praja
sebanyak mungkin harus ditolak dalam keanggotaan tersebut.[3] Sikap para abangan yang netral secara religius menolak
pendapat tersebut.
Pada
dasarnya sikap netral terhadap agama diantara kaum abangan, termasuk didalamya
kaum nasionalis merupakan hasil dari pendidikan Belanda. Kaum yang bersifat netral terhadap agama menyetujui adanya
pemisahan antara negara dan agama. Kaum nasionalis yang
berpendidikan Barat tampil dengan semboyan kebangsaan.
Kebangsaan yang dimaksud adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat
Indonesia, tanpa memandang agama dan suku bangsa.[4]
Pada
tahun 1927, Soekarno sebagai golongan nasionalis mendirikan Partai Nasional Indonesia.
Soekarno terus menerus menegaskan bahwa PNI tidak dapat menjadikan Islam
sebagai dasar sebab kemerdekaan adalah tujuan seluruh bangsa Indonesia tanpa
memandang suku dan agama.
“…Suatu negara seperti Indonesia, hanya akan ada dua pilihan;
persatuan antara agama dan negara tetapi tanpa demokrasi atau demokrasi tetapi
negara terpisah dari agama.[5]
Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan pada intinya bersifat
netral terhadap agama. Mereka menyetujui
pemisahan antara agama dan negara, agama merupakan urusan perseorangan.
Penutup
Gerakan politik kaum abangan diwakili dalam gerakan
komunis dan abangan. Bertenatangan dengan para santri, para nasionalis yang
bersifat netral terhadap agama mengambil pendirian yang menyutujui pemisahan
antara agama dan negara. Pandangan kebangsaan yang lahir kemudian
adalah adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia,
tanpa memandang agama dan suku bangsa. Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan
pada intinya bersifat netral terhadap agama.
Mereka menyetujui pemisahan antara agama dan negara, karena agama
merupakan urusan perseorangan.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat,
‘Pembitjaraan Buku Clifford Geertz”.
Masroer Ch.Jb. 2004. The History Of
Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zaini Muchtarom.1988. Santri Dan Abangan di Jawa. Jakarta:
INIS.
[1] Msroer Ch.Jb. The History Of Java: Sejarah Perjumpaan
Agama-Agama Di Jawa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Yogyakarta, 2004), hlm. 31
[2] Koentjaraningrat, ‘Pembitjaraan
Buku Clifford Geertz”, hlm. 188-191
[4] Penggunaan istilah kebangsaan
tersebar luas pada akhir tahun 1920-an, khususnya pada puncak pertentangan
antara para santri yang berhaluan Islam dan para abangan nasionalis yang netral
terhadap agama, berkenaan dengan hubungan natara agama dan politik