UA-150421350-1

Minggu, 16 September 2012

NEGARA



Oleh : Waidkha Yuliati
      
Kaum abangan dewasa ini sering digunakan untuk menyebut masyarakat yang rela memeluk Islam, naun tetap bertahan membiarkan dirinya larut kedalam kepercayaan dan ritus-ritus lama yang seudah berurat akar sampai ratusan tahun. Secara etimologis, kata abangan berasalal dari bahas Jaba abang  yang berarti merah. Seperti merahnya kulit anak baru lahir atau jabang bayi. Kata abangan kemudian mengandung makna konotatif, yaitu orang-orang yang masih ‘baru’ dalam keislamannya.. Mereka ini yang dikenal sebagai Islam nominal atau lebih popular dikalangan santri dengan istilah golongan abangan. [1]
Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut. Didaerah-daerah Pantai Utara, tempat kebudayaan Hindu kurang berpengaruh, Islam lebih kuat dan mampu merembes dalam kehidupan social paguyuban santri. Sebaliknya, ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah dating lebih dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antithesis bagi golongan santri. Menurut pendapat orang Jawa, seperti yang juga diterangkan oleh Koentjaraningrat istilah santri dan abangan hanya menujuk kepada dua varian religious dalam kebudayaan Jawa. [2] Penggolongan secara horizontal antara golongan santri dan abangan pasti merupakan garis antar-kategori yang bersifat nisbi. Latar belakang dan pandangan yang berbeda diantara dua kelompok tersebut pada akhirnya melahirkan pemahaman dan pandangan yang berbeda terhadap konsep negara dan paham kebangsaan atau nasionalisme.

Kebangsaan dalam Pandangan Kaum Abangan
            Persatuan dalam Sarekat Islam tahun 1920-an sebagai organisasi yang memiliki jumlah massa yang besar diwujudkan berdasarkan ideologi Islam. Sebagaimana dirinci pada anggaran dasarnya…Hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat diterima dan bahwa pangreh praja sebanyak mungkin harus ditolak dalam keanggotaan tersebut.[3] Sikap para abangan yang netral secara religius menolak pendapat tersebut.  
            Pada dasarnya sikap netral terhadap agama diantara kaum abangan, termasuk didalamya kaum nasionalis merupakan hasil dari pendidikan Belanda. Kaum yang bersifat netral terhadap agama menyetujui adanya pemisahan antara negara dan agama. Kaum nasionalis yang berpendidikan Barat tampil dengan semboyan kebangsaan. Kebangsaan yang dimaksud adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang agama dan suku bangsa.[4]
            Pada tahun 1927, Soekarno sebagai golongan nasionalis mendirikan Partai Nasional Indonesia. Soekarno terus menerus menegaskan bahwa PNI tidak dapat menjadikan Islam sebagai dasar sebab kemerdekaan adalah tujuan seluruh bangsa Indonesia tanpa memandang suku dan agama.
“…Suatu negara seperti Indonesia, hanya akan ada dua pilihan; persatuan antara agama dan negara tetapi tanpa demokrasi atau demokrasi tetapi negara terpisah dari agama.[5]

Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan pada intinya bersifat netral terhadap agama.  Mereka menyetujui pemisahan antara agama dan negara, agama merupakan urusan perseorangan.

Penutup
Gerakan politik kaum abangan diwakili dalam gerakan komunis dan abangan. Bertenatangan dengan para santri, para nasionalis yang bersifat netral terhadap agama mengambil pendirian yang menyutujui pemisahan antara agama dan negara.  Pandangan kebangsaan yang lahir kemudian adalah adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang agama dan suku bangsa. Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan pada intinya bersifat netral terhadap agama.  Mereka menyetujui pemisahan antara agama dan negara, karena agama merupakan urusan perseorangan.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, ‘Pembitjaraan Buku Clifford Geertz”.  
Masroer Ch.Jb. 2004. The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zaini Muchtarom.1988. Santri Dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.





[1] Msroer Ch.Jb. The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di Jawa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Yogyakarta, 2004), hlm. 31
[2] Koentjaraningrat, ‘Pembitjaraan Buku Clifford Geertz”, hlm. 188-191
[3] Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), hlm.40
[4] Penggunaan istilah kebangsaan tersebar luas pada akhir tahun 1920-an, khususnya pada puncak pertentangan antara para santri yang berhaluan Islam dan para abangan nasionalis yang netral terhadap agama, berkenaan dengan hubungan natara agama dan politik
[5] Ibid., hlm 52
ww
ss