UA-150421350-1

Rabu, 07 November 2012

Realisasi Konsep Vilayat-I Faqih Dalam Konstitusi Pemerintahan Republik Islam Iran Periode Imam Ayatullah Khomeini


Abstrak
The concept of Vilayat-I Faqih is a concept that was born as a form of "process" Khomeini's ijtihad to respond to large-ghayb twelfth imam, Imam Mahdi al-Muntadzar. Vilayat-I Faqih Khomeini offers popular form of government with a source of law and the inherent sovereignty of God. Vilayat-I Faqih system is a system of democratic governance which is the divinity, because the system of "theology-democratic" are the people doing the people's sovereignty is limited by the sovereignty of God

Keywords: Vilayat-I Faqih, constitution, Syi’ah, theology-democratic

Pendahuluan
Revolusi Islam Iran tahun 1979 sampai saat ini masih membawa semangat, dan senantiasa akan menjadi kajian menarik setiap orang khususnya bagi pengamat politik Barat atau Islam dalam percaturan politik dewasa ini. Bahkan semangat revolusi tersebut kembali terevitalisasi dalam Revolusi Islam ke III Iran tahun 2005 dibawah pimpinan Ahmadinejad.[1]Revolusi Islam Iran telah mengubah sistem politik dan bentuk Negara Iran, yakni dari Monarki menjadi Republik Islam. Keberhasilan revolusi yang dipimpin oleh tokoh spiritual Islam Ayatullah Rullah Khomaeni telah memperkenalkan konsep kepemimpinan dalam negara yang dikenal dengan sebutan Vilayat-I Faqih.
Konsep Vilayat-I Faqih adalah kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran yang berada ditangan Imam. Maksud dari Imam adalah pemimpin spiritual yang menjadi dewan kepemimpinan (Shura-ye-Rahbari), bukan Imam sebagaiamana keyakinan umat syi’ah sepeninggalan Nabi Muhammad SAW.Langkah dan tindakan Khomaeni yang meletakkan konsep Vilayat-I Faqih dalam system politik dan konstitusi Iran sebagai upaya ijtihadnya merupakan keunikan tersendiri diantara negara-negara Islam lainnya. Negara-negara yang mayoritas beragama Islam atau yang secara formal mengaku Negara Islam tidak memiliki keinginan untuk mengadopsi konsep tersebut seperti halnya Negara Islam.
Konsep Vilayat-I Faqih
Konsep Vilayat-I Faqih merupakan konsep yang lahir sebagai bentuk “proses” ijtihad Khomeini untuk menanggapi ke-ghayb-an besar imam kedua belas, Imam Mahdi al-Muntadzar. Khomeini meyakini sesuai keimanan Syi’ah bahwa selama ghaibnya al-Mahdi, maka kepemimpinan umat harus berada dan menjadi hak para faqih agama yang saleh dan adil.Golongan Syi’ah imamiyah memegang teguh keyakinan bahwa pemerintahan hanyalah milik imam. Para imam berhak atas kepemimpinan politik dan otoritas keagaamaan. Setelah para imam tiada, maka kepemipinan harus dipegang oleh para faqih.
Jika imam berkewajiban membimbing umat, setelah berakhirnya proses penurunan wahyu atau setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, faqih brkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya proses imamah yakni setelah ketiadaan imam (ghaib qubro). Faqih tidak memiliki keistimewaan-keistimewaan seperti imam. Faqih merupakan pengemban otoritas umum imam, oleh karenanya teori Vilayat –I Faqih dalam beberapa hal merupakan kelanjutan dari doktrin imamah.[2]
Terdapat empat prinsip dasar yang harus ditegakkkan dalam konsep Vilayat-I Faqih . Pertama, Allah SWT adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah ) yang mewujudkan kepemimpinan Allah SWT dimuka bumi ialah kenabian dengan peraturan Allah SWT yang disampaikan kepada umat manusia melaui para Nabi. Ketiga, garis imamah menunjukan garis kelanjutan dari para Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah terdapat dua belas Imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Dan dua belas imam tersebut sekarang dalam keadaan ghaib besar. Suatu saat akan hadir kembali sebagai imam Mahdi al-Muntazhar. Keempat, pada saat imam dalam keadaan ghaib besar, kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqih. Fuquha adalah pengganti para imam . Pada mereka dipercayakan kepemimpinan (vilayat) atas umat.
Vilayat –I Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran , hadist, maupun ijtihad para faqih atau ulama. Abul A’la Maududi menyebut sistem pemerintahan yang terkonsep oleh Khomeini tersebut dengan “teokrasi” atau “kerajaan Tuhan”. Akan tetapi tentu saja system pemerintahan tersebut berbeda dengan teokrasi yang diterapkan di Eropa. Noor Arif Maulana dalam buku Revolusi Islam Iran menyebutnya dengan istilah baru, yakni system pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena dibawah  system “teo-demokratis” tersebut orang-orang  melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan.[3]

B.     Kelemahan Konsep Vilayat-I Faqih
Sebagai sebuah gagasan, Vilayat memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan. Pertama mengenai kriteria seorang faqih yang pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Jelas tidak mudah memilih seorang dengan kriteria yang ditetapkan dalam konsep Vilayat –I Faqih. Hal ini terlihat sekali ketika Khomeini wafat, kepemimpinannya di gantikan oleh Ali Khamenei. Kharisma Khameini sendiri cenderung menurun dibandingkan Khomeini sebagai pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran.
Kedua, konsep Vilayat-I Faqih dipandang telah memberikan peranan yang amat besar terhadap Ayatullah Khomeini dalam bidang kenegaraan.  Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipai politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Ketiga, tidak dilibatkannya peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan penetu kebijakan adalah para fuqaha. Hal tersebut sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dengan latar belakang kritikan tersebut, konsep Vilayat-I Faqih perlu melahirkan interpretasi baru yang menyajikan konsep baru dari doktrin Vilayat-I Faqih. Hal tersebut sangat manusiawi mengingat, Vilayat –I Faqih merupakan sebuah ijtihad Khomeini, yang interpretasi dan reinterpretasi baru selalu dibutuhkan sesuai dengan perkembangan zaman.

C.    Realisasi Vilayat-I Faqih Dalam Pemerintahan Iran

Pemerintahan
Kekuasaan legeslatif Republik Islam Iran ditangani oleh tiga lembaga yakni Majelis-e-Syura-e Islami (Majelis Konstitusi Islam), Shuraye-Nagabhan (Dewan perwalian Undang-Undang) dan Majelis –e Khubreqan (Majelis Ahli). Majelis-e-Syura-e Islami, berfungsi sebagai parlemen terdiri dari 270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai landasan falsafah Majelis adalah al-Quran surat asy-Syura ayat 38.
Kekuasaan imam yang besar dalam pemerintahan Republik Iran bukannya bersifat dictator yang tidak bias diturunkan dari jabatannya. Majelis Majelis –e Khubreqan berfungsi untuk memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin atau imam. Majelis ahli ini bernggotakan 73 ulama senior yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Shuraye-Nagabhan, majelis ini memiliki fungsi yang terbatas, tapi pada hakekatnya cukup menentukan. Majelis ini terdiri atas 12 orang, 6 fuqaha yang diangkat oleh imam dan 6 orang ahli hokum Majelis.
Kekuasaan eksekutif berada ditangan presiden yang masih berada dibawah garis kekuasaan imam atau Vilayat-I Faqih (rahbar) sesuai dengan pasal 113 bahwa Presiden bertanggung jawab dalam penerapan Undang-Undag Dasar, pengaturan ketiga cabng kekuasaa, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab imam atau pemimpin spiritual. Presiden dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan empat tahun.

Konstitusi
Secara politis Republik Islam Iran mencantumkan Vilayat –I Faqih dalam praktek penyelenggaraan pemerintahannya. Konstitusi Republik Iran 1979 merupakan satu-satunya undang-undang yang secara eksplisit mencantumkan konsepsi Vilayat –I Faqih
 Awalnya thesis Khomeini mengenai Vilayat I-Faqih pernah ditolak oleh sebagian Ayatullah yang hidup di era 1981. Seperti Abu al-Qasim al-khu’I dan sejumlah syariatmadari. Walaupun pada akhirnya mereka dapat menerima konsep Khomeini untuk diterapkan dinegara Iran.[4]
Doktrin “wewenang seorang faqih” (Vilayat I-Faqih) memungkinklan seorang faqih  berdiri sebagai pemegang otoritas hokum tertinggi dalam Negara. Faqih memiliki wewenag untuk menyatakan tidak sahnya suatu tindakan pemerintah atau perundangan yang dikeluarkan jika dipandang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Draft pertama konstitusi Republik Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis –I Mu’aissan (majelis konstituante) yang dibentuk berdasarkan dekrit Khomeini. Para anggota Majelis-Mu’aissan kemudian diubah menjadi Majelis –e Khubreqan (Majelis Ahli) yanga anggotanya dipilih oleh rakyat. Ketika sedang bersidang membahas konstitusi, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan konstitusi pembaharuan yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih.
Bagian pembukaan konstitusi 1979, tertulis
“rencana pemerintah Islam yang berdasarkan Vilayatul Faqih yang diwakili oleh Ayatullah Khomeini “
“Berdasarkan prinsip-prinsip Vilayat-I’Amr dan kepemimpinan yang terus menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih.”
Pasal 2 konstitusi 1979
“ Republik Islam Iran sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada (1) Tauhid, kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati perintahnya;(2) Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan Republik Islam.
Pasal 5 UUD Republik Islam Iran
“Selama ketidakhadiran imam yang keduabelas (semoga Allah mempercepat kedatangannya) dalam Republik Islam Iran, vilayat dan kepemimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum agama) yang adil dan takwa, mengenal zaman, pemberani, giat, berinisiatif yang dikenal dan diterimaoleh mayoritas umat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih semacam itu, suatu dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut diatas akan memegang tanggung jawab itu”
Melihat pasal diatas secara seksama, jelas kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran berada ditangan imam atau pemimpin spiritual. Besarnya kekuasaan imam atau pemimpin spiritual terlihat jelas dala sejumlah wewenang yang dimilikinya, hal tersebut menampakan secara jelas, konsep Vilayat-I Faqih gagasan Khomeini.

1.      Para alim ulama yang berhak menjadi penguasa dalam sebuah Negara Islam adalah lelaki yang mempunyai kecerdasan dan kepandaian yang luas sehingga mampu mengerahkan potensi masyarakat.
2.      Seorang fuqaha berfungsi sebagai pewaris nabi, oleh karenannya mempunyai tugas dan kewajiban  untuk mempergunakan angkatan bersenjata dan aparat politik demi pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran bangsa
3.      Membentuk pemerintahan atau Negara Islam, hukumnya wajib bagi setiap umat Islam khususnya para alim ulama dimanapun mereka berada, karena hal tersebut merupakan bagian utama dari akidah imamiyah.
4.      Negara atau pemerintahan Islam diperlukan demi tegaknya hukum-hukum Islam.
5.      Di dalam Negara Islam, para wakil rakyat tidak berhak membuat undang-undang, karena undang-undang atas dasar hukum(Islam) diperoleh lagsung dari Tuhan yaitu al_Quran dan al-Hadist.

Pasal 110 mengenai wewenang faqih
“ Faqih berwenang mengangkat dan memberhentikan para fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shunye Negahban); Pejabat Kehakiman Tertinggi Negara; Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam Nasional, mengangkat Komandan Ketiga Angkatan Bersenjata atas usulan Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional, menyatakan perang dan damai; dan mengesahkan serta pemberhentian Presiden”
Pasal 107 konstitusi 1979
Pasal 107 konstitusi 1979 secara eksplisit mengesahkan Ayatullah Khomeini sebagai Vilayat-I Faqih, “marja’I taqlid yang terkemuka dan kepemimpinan revolusi” ditambah lagi dengan penegasan dalam pasal 107 yang secara eksplisit menetapkan Khomeini sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara”.

Perkembangan Vilayat-I Faqih selanjutnya mengalami interpretasi baru sesuai dengan perkembangan zaman. Khususnya, ketika pemerintan Iran jatuh dipihak golongan reformis (Khatami), konsep Vilayat-I Faqih tidak sepenuhya dihapuskan meskipun pemikiran tersebut lahir dari golongan konservatif, golongan ulama.[5] Vilaya-I Faqih hanya mengalami reinterpretasi yang berbeda khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan. Kekuasaan lebih menekankan kedaulatan rakyat daripada otoritas dan kekuasaan kaum ulama.

Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa konsep Vilayat-I Faqih merupakan konsep sistem pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena dibawah  system “teo-demokratis” tersebut orang-orang  melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Vilayat –I Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran , hadist, maupun ijtihad para faqih atau ulama.
Realisasi Vilayat-I Faqih dapat dilihat dari konstitusi Republik Islam Iran, yang secara fundamental dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih. Dalam bidang pemerintahan, konsep Vilayat-I Faqih terlihat jelas pada pembatasan kekuasaan presiden dan kedudukan presiden yang masih dibawah imam atau pemimpin spiritual.

Kepustakaan

Musthafa Abd. Rahman. 2003. Iran Pasca Reformasi. Jakarta : Kompas, 2003Muhsin

Labib,dkk. 2006. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta : Mizan.

Noor Arif Maulana.2005. Revolusi Islam Iran. Yogayakarta: Kreasi Wacana.








[1] Muhsin Labib,dkk. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia, (Jakarta : Mizan, 2006), hlm.150

[2] Noor Arif Maulana. Revolusi Islam Iran, (Yogayakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 88

[3] Ibid, hlm.93

[4] Ibid, hlm 93
[5] Musthafa Abd. Rahman. Iran Pasca Reformasi.(Jakarta : Kompas, 2003)hlm.  xxviii


PERS CINA PERANAKAN MASA PERGERAKAN NASIONAL


Oleh
Waidkha Yuliati
Pendahuluan
Pers memiliki posisi vital pada masa pergerakan nasional. Seiring berjalannya roda modernisasi dan menggeloranya ide nasionalisme, kebutuhan akan informasi meningkatkan penyebaran komunikasi massa melalui media cetak.  Proses industrialisasi dan modernisasi dibidang ekonomi dan pendidikan telah melahirkan kelompok sosial baru dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal tersebut segera diikuti oleh meningkatnya tingkat kemampuan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan.
Di era pergerakan nasional, informasi dianggap sebagai kebutuhan yang penting. Sebagian besar organisasi pergerakan yang ada memiliki surat kabar atau majalah sebagai corong politikSebagai contoh,  Oetoesan Hindia sebagai surat kabar SI,  in 1918 he joined to the youth movement Jong Java, to write for the SI newspaper Oetoesan Hindia (Indies Mesenger). [1]Hal tersebut mencerminkan bahwa keberadaan pers sebagai salah satu infrastuktur masyarakat modern mulai dibutuhkan. Secara kultural, orang Cina yang berkumim di Indonesia secara kultural dibedakan menjadi dua, Cina peranakan dan Cina totok. Perbedaan ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kehidupan sosial termasuk dalam bidang pendidikan.[2] Namun dalam industri pers, keduanya berperan aktif dalam dunia jurnalistik.
Pentingnya pers sebagai salah satu infrastruktur masyarakat modern menjadikan industri pers dan percetakan muncul sebagai bidang ekonomi baru yang potensial. Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, orang Cina kemudian berhasil mengakumulasikan keuntungan dan modalnya sehingga mereka pun secara lambat namun pasti bergerak menguasai perekonomian skala menengah, seperti yang tergambar dalam industri pers.Sejarah pers di Indonesia sendiri menampilkan peran Indo-Eropa, orang-orang Cina baik Cina totok maupun Cina peranakan dan sedikit peran pribumi sebagai aktor utama. Surat kabar Eropa kebanyakan berisi tulisan-tulisan mengenai tanah jajahan dan keterkaitannya dengan Jepang.[3]Dalam pers Cina, selain berisi ide-ide pemikiran nasionalisme Tionghoa, dan tulisan mengenai pergerakan nasionalisme Indonesia, sekitar tahun 1930-an surat kabar Cina juga didominasi oleh tulisan-tulisan yang bernadakan anti-Jepang
Hubungan pers Cina dan pergerakan nasional serta ide nasionalisme dalam historiografi yang dihasilkan sering ditampilkan dalam gambaran yang mekanis. Perananan surat kabar atau pers tertentu hanya dilihat dari keberpihakan politik, bahasa yang digunakan dan aliran politik yang dianut pers tersebut. Orang-orang Cina dalam pers mungkin tidak terlibat langsung dalam pergerakan nasional atau pers nasional, namun keberadaanya yang ditunjang kekuatan ekonomi memungkinkan untuk mempengaruhi eksistensi kaum pergerakan di Indonesia.

Industri Pers Cina Peranakan
Surat-surat kabar Cina Indonesia baru muncul pada abad ke-20. Surat-surat kabar tersebut dikelompokan menjadi pers berbahasa Melayu dan berbahasa Tionghoa (Cina). Kelompok yang pertama dikelola oleh orang-orang Cina peranakan, sedangkan kelompok kedua dikelola oleh orang-orang Cina totok. Pers Cina peranakan sendiri dapat dikatakan baru benar-benar muncul setelah masuknya pengaruh gerakan Pan-Cina di Jawa. Pengaruh tersebut dimanifestasikan dalam bentuk suatu renaissance budaya dan menyadarkan orang-orang Cina tentang pentingnya kelompok. Sejak saat itu penerbit-penerbit utama Cina peranakan mulai menerbitkan sejumlah surat kabar. Beberapa surat kabar Cina peranakan pada awalnya masih menggunakan orang-orang Belanda sebagai redaktur karena dianggap memberikan kekebalan yang lebih besar terhadap polisi.
Surat kabar Cina peranakan pertama, Li Po di terbitkan  di Sukabumi, Jawa Barat. Dalam perkembangannya, tahun 1920-an orientasi politik dalam pers Cina mulai berkembang. Surat-surat kabar besar seperti Siang Po, Sin Po, dan  Sin Tit Po  lahir mewakili tiga aliran politik yang berbeda. Pers yang menerima ideologi nasionalisme secara penuh, pers yang bersifat netral dan pers yang lebih mendukung pemerintah kolonial Belanda. Peta kehidupan jurnalistik di Jawa terpaku jelas dalam kekuatan ekonomi masing-masing golongan. Dengan didukung oleh kemampuan ekonomi yang memadai, orang-orang Belanda mampu menghasilkan pers yang bermutu dan modern baik dari segi kualitas redaksional, pemasaran maupun teknik percetakan. Berlawanan dengan kondisi pers Belanda, pers pribumi yang lahir kemudian dilihat dari segi mutunya dianggap masih rendah. Pers pribumi tidak dtunjang dengan dewan redaski yang berwenang, administrasi yang baik, atau tenaga-tenaga yang terdidik.
Berbeda dengan kedua kelompok pers yang perkembangannya selalu memantulkan nuansa politik, pers Cina muncul diantara keduanya murni sebagai aktivitas bisnis dengan tujuan utama komersialitas dan profit. Walaupun terkadang harus bergesekan dengan permasalahan politik, pers Cina relatif lebih bebas dibandingkan dengan dua kelompok pers lainnya. Dukungan permodalan yang kuat menjadikan pers Cina mempu menampilkan wajah penerbitan dengan mutu yang tidak kalah tinggi dibandingkan dengan pers orang-orang Belanda. Bahkan pers Cina memiliki kelebihan lain yang membuatnya berkembang lebih luas. Kelebihan tersebut diantaranya, Bahasa Melayu yang digunakan sehingga membuat pers Cina lebih banyak menyentuh masyarakat pribumi luas.
Keuntungan lain yang dimiliki pes Cina adalah mereka memiliki sendiri mesin-mesin percetakan, dukungan finansial yang kuat dan tenaga ahli yang mampu mereka bayar. Berbekal kemampuan tersebut, pers Cina mampu menghasilkan terbitan-terbitan yang bermutu. Kualitas pers Cina tampak dalam kertas yang digunakan, bentuk grafis, warna tinta yang digunakan dan tentu saja kandungan berita yang disajikan. Pers Cina cenderung tidak mengalami kesulitan keuangan. Disamping mereka memiliki pasaran yang jelas,  pers Cina didukung oleh infrastruktur yang memadai. Untuk keuangan, pers Cina didukung oleh perbankan dan berbagai pemasukan tetap dari langganan dan iklan. Bagi pers Cina yang mengalami kesulitan keuangan mereka dapat berafiliasi dengan kelompok usaha besar, seperti yang pernah dilakukan oleh surat kabar Keng Po terhadap perusahaan Oi Tiong Ham Concern ketika mengalami kesulitan keuangan.
Di bidang periklanan, pers Cina mendapatkan suplai dan kepercayaan dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa periklanan untuk mempromosikan produk yang dihasilkan. Sementara itu dari aspek politik boleh dikatakan pers Cina tidak pernah ada yang terkena permasalahan hukum (delik pers) sebagai akibat dari dimuatnya hatzai artikelen (artikel yang menebarkan kebencian). Pers Cina dipandang netral sehingga dianggap tidak berbahaya.Oleh karenanya penguasa Belanda lebih bersikap lunak  terhadap pers Cina. Pandangan Van Hestert, kebanyakan surat kabar yang terbit di Hindia Belanda dipimpin oleh seorang direktur yang memiliki tugas rangkap. Selain perusahaan penerbitan, seorang direktur biasanya merangkap tugas sebagai manajer bisnis dan pemasaran, direktur keuangan, pemimpin redaksi, atau bahkan teknisi. Hal ini menunjukan bahwa penyelenggaraan pers pada waktu itu belum memiliki sistem manajemen yang baik, dimana pembagian kerja secara profesional belum dapat tercapai.
Seorang direktur perusahaan penerbitan pers atau kepala editor yang merupakan seorang pemimpin intelektual atau politisi memiliki pengaruh luas terhadap isi dan pandangan politik  pers yang diterbitkan. Surat kabar Sin Po dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat dan Tjo Bou San dikenal sebagai intelektual dan politisi yang cukup berpengaruh sehingga Sin Po muncul sebagai motor penggerak aliran politik yang cukup besar pengaruhnya dikalangan Cina peranakan.[4]

Pers Cina Peranakan Dan Nasionalisme Indonesia
Ide pergerakan nasional muncul sebagai antitesa terhadap politik kolonial Belanda. Keberadaan pers menjadi pendukung laju pergerakan nasional di Indonesia. Kehidupannya terus berkembang meskipun keberadaannya terus menerus diancam kebijakan pembredalan oleh pemerintah kolonial, all branches of writing expanded rapidly in Indonesia. In 1918 there were already about 40 newspapers published, mostly in Indonesia; by 1925 there wereabout 200; by 1938 there were over 400 dailies, weeklies and monthlies.[5]
Ide pergerakan nasional muncul sebagai kekuatan historis masyarakat pribumi yang juga berpengaruh terhadap pers Cina peranakan. Aspek yang paling mudah dipertimbangkan dalam melihat hubungan pers Cina dengan nasionalisme Indonesia adalah aspek politik. Pers Cina peranakan dipergunakan oleh tokoh pergerakan untuk menyebarkan ide-ide perjuangan pergerakannya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas pers Cina.Pers Cina dianggap relatif aman karena posisinya yang netral, sedangkan pers pribumi lebih mudah terdeteksi dan akhirnya dibredel dan pemimpin atau penyumbang pemikirannya ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Belanda.[6]
            Pandangan politis yang ditampilkan dalam pers Cina umumnya menunjukan pandangan para pemilik, staf redaksi dan pembaca langganan yang mendukung pers tersebut. Secara garis besar spektrum politis pers Cina terbagi atas tiga kelompok besar.Kelompok  pertama Pers Cina tampil sebagai wakil pers yang menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Kelompok ini tidak diragukan lagi peranannya dalam menyebarkan ide nasionalisme Indonesia, terutama dalam masyarakat Cina peranakan. Kelompok pertama ini diwakili oleh Sin Tit Po, yang menjadi corong setengah resmi dari PTI (Partai Tionghoa Indonesia).
            Kelompok kedua dan ketiga, memilih netral dan tetap pada pendiriannya. Kelompok kedua memilih nasionalisme Cina daratan sebagai orientasi politik. Sementara kelompok ketiga bersikap konservatif mempertahankan identitas etniknya dan memilih berorientasi politik dengan lebih mendukung  pemerintah kolonial Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh surat kabar Sin Po yang menganut aliran nasionalisme Tionghoa.[7]Kelompok ketiga diwakili oleh kabar Siang Po dan Pelita Tionghoa.
            Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Sin Po senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, pemerintah kolonial Belanda.[8]
   Soekarno mengatakan pada Tjoe bahwa ia lebih menghargai orang Tionghoa yang menyokong pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya, dibandingkan dengan mereka yang mau menjadi orang Indonesia akan tetapi semata-mata karena ingin mendapat keuntungan.[9] Hubungan antara pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers, yaitu sebagai media komunikasi massa.  Pers Cina memberikan informasi yang  jernih dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia akan identitas bangsanya.Semua hal yang yang dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina    terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa.[10]
Tulisan-tulisan dalam pers Cina peranakan yang mendapat pengaruh dari gerakan nasioanalisme Tionghoa juga memiliki imbas terhadap bagian-bagian dari reaksi bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial, also of importance was the strong reaction generated by Indonesian contact with the hauteur and political agressiveness manifested by Indies Chinese as a result of the contagion of the ideas og Chinese Nationalism.[11]
Pada masa pergerakan nasional, pers nasional (pers pribumi) sering mengalami kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah kolonial. Kehidupan pers terus menerus diancam kebijakan pembredelan dan delik pers. Seperti yang pernah dialami surat kabar pribumi Doenia Bergerak, tiga buah artikel dalan DB yang bertemakan ketidakbenaran orde kolonial terkena persdelict (delik pers), dan  pemimpinnya Mas Marco Kartodikromo harus menjalani hukuman penjara di kota Semarang selama 8 bulan. [12] Dalam keadaan politik yang mengancam, keberadaan surat kabar Cina yang relatif aman menjadi salah satu sumber dan media penting dalam mengetahui dan mendorong laju pergerakan nasional.
             Beberapa pers pribumi baik itu surat kabar maupun majalah pada awal perkembangannya menggunakan berbagai fasilitas yang dimiliki orang-orang Cina dalam perusahaan penerbitannya, seperti percetakan, permodalan,dan tenaga ahli editorial. Majalah Darmo Kondo milik Budi Utomo yang terbit di Surakarta pada awalnya dimilikidan dicetak oleh Tan Tjoe Kwan, sedangkan redaksinya dipimpin oleh Tjhie Siang Ling yang mahir dalam kasustraan Jawa.[13] Beberapa surat kabar lain yang juga bekerja sama dengan modal Cina antara lain surat kabar Kebangoenan yang diterbitkan di Jakarta dicetak dipercetakan Siang Po dan memuat artikel-artikel bersamaan dengan Siang Po sekurang-kurangnya pada periode awal.[14]
            Bentuk kerja sama lainnya adalah dipekerjakannya wartawan-wartawan Indonesia dibeberapa surat kabar Cina peranakan.Orang-orang seperti Saeroen, W.R Soepratman, D. Koesoemaningrat, Bintarti, Sudarjo Tjokrosisworo, dan J.D Syaranamual merupakan wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja diberbagai surat kabar Cina peranakan. Disamping memperoleh imbalan ekonomis dari pekerjaannya, mereka juga mempelajari teknik pengelolaan surat kabar Cina yang kemudian mereka terapkan pada pers nasional atau pers pribumi.
            Kemampuan finansial tinggi pers Cina mampu membayar koresponden dan staf ahli yang tinggal di luar negeri. Perolehan berita-berita luar negeri baik menyangkut informasi mancanegara maupun tentang Indonesia sendiri kemudian dikutip kembali oleh surat kabar pribumi. Kerja sama seperti itu merupakan hal yang luar biasa pada masa itu mengingat biaya penggunaan jasa telekomunikasi sangat tinggi sehingga hanya surat kabar tertentu yang mampu menggunakan jasa informasi tersebut.

Kesimpulan
            Pers Cina dengan didukung oleh kelengkapan produksi yang memadai muncul sebagai kekuatan penting dalam panggung kehidupan jurnalistik di Indonesia. Pers Cina memiliki perusahaan percetakan sendiri,modal dan dukungan finansial yang kuat. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki tersebut, pers Cina mampu memberikan warna tersendiri bagi dinamika perekembangan jurnalisme di Indonesia.
Keberadaan pers Cina tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat dan sejarah pers Indonesia. Pertumbuhan pers Cina yang bersamaan dengan bangkitnya semangat nasionalisme Indonesia memiliki titik persinggungan dalam beberapa tempat. Keberadaan pers Cina memberikan nilai positif bagi perkembangan nasionalisme di Indonesia. Pers Cina banyak berperan sebagai partner bagi tokoh pergerakan dalam menyebarkan ide-ide, pemikiran serta informasi.
Hubungan pers Cina dan gerakan nasionalisme Indonesia setidaknya dapat dilacak dalam tiga aspek, yakni relasi sosial-politik, relasi psiko kultural dan relasi ekonomis. Relasi sosial-politik terutama dilihat dari peran Pers Cina dalam hubungannya dengan tokoh pergerakan. Pers Cina berperan sebagai mitra perjuangan, yakni sebagai media alternatif bagi pergerakan nasional.
Hubungan psiko-kultural diperlihatkan dengan fungsi pers sebagai media komunikasi massa. Pers Cina melalui pemberitaannya tentang berbagai peristiwa di Indonesia secara tidak langsung menyadarkan masyarakat Indonesia akan identitas sebagai bangsa Dari segi ekonomi, pers Cina dengan dukungan permodalan yang memadai membantu terpeliharanya eksistensi beberapa pers pribumi. 

Daftar Pustaka
Abdul Wakhid.1999. “Modal Cina Dan Nasionalisme Indonesia: Industri Pers Cina Pada Masa Pergerakan Nasional, 1910-1942”, lembaran Sejarah. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak. Ilmu Budaya dan Program Studi Sejarah Program Pasca Sarjana UGM.
Abdurrachman Surjomihardjo. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: PN Kompas.
Kahin, George Mc Turnan. 1952. Nationalisme & Revolution in Indonesia. USA : Cornell University.
Leo Suryadinata. 1991. “Tjoe Bou San : Nasionalisme Tionghoa yang  Mati Muda”, Prisma No 5 Tahun 1991, Jakarta:LP3ES.

______________.1983. “ Liem Koen Hian Peranakan yang Mencari Identitas”, Prisma No 3 tahun 1983, Jakarta: LP3ES.
_____________. 1991. “Kwee Hing Tjiat: Nasionalisme Tionghoa, Tokoh Asimilasi”, Prisma No 7 Tahun 1984, Jakarta:LP3ES.
Lohanda, Mona. 1994. The Capitan og Batavia 1837-1942 A History of Chinese Establishment in Colonial History.Jakarta: Djambatan.
Razif. 1991. “Marco Kartodikromo Perintis Jurnalis Pemegang Prinsip Pergerakan”, Prisma No.9 Tahun 1991, Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C.  1983. A History of Modern Indonesia c 1300 to the Present, Macmillan: Macmillan Press
Scholten, Elsbeth Locher.  1986. The Indonesian Revolution.  Utrecht : RIJKS Universiteit Utrecht.




[1] Ricklefs, M.C,1983, A History of Modern Indonesia c 1300 to the Present, Macmillan: Macmillan Press, hlm. 173.
[2] Lohanda, Mona, 1994,The Capitan og Batavia 1837-1942 A History of Chinese Establishment in Colonial History.Jakarta :Djambatan, hlm.137.
[3] Scholten, Elsbeth Locher,  1986. The Indonesian Revolution, Utrecht : RIJKS Universiteit Utrecht, hlm.10

[4] Abdul Wakhid, 1999, “ Modal Cina dan Nasionalisme Indonesia : Industri Pers Cina Pada Masa Pergerakan Nasional”, Lembaran Sejarah Volume 2 No 1 tahun 1999, Fak. Ilmu Budaya dan Program Studi Sejarah Program Pasca Sarjana UGM, hlm. 103
[5] Ricklefs, M.C, op.cit, hlm. 176
[6] Abdul Wakhid, op.cit, hlm.106
[7] Leo Suryadinata, 1991, “Kwee Hing Tjiat: Nasionalisme Tionghoa,Tokoh Asimilasi”, Prisma No 7 Tahun 1984, Jakarta:LP3ES, hlm.74
[8] Leo Suryadinata, 1991, “Tjoe Bou San : Nasionalisme Tionghoa yang  Mati  Muda”, Prisma No 5 Tahun 1991, Jakarta:LP3ES, hlm.82
[9] Leo suryadinata,op.cit, hlm.  82
[10] Abdul Wakhid,op.cit, hlm. 107

[11] Kahin, George Mc Turnan, 1952, Nationalisme & Revolution in Indonesia, USA : Cornell University,hlm. 66

[12] Razif, 1991, “Marco Kartodikromo Perintis Jurnalis Pemegang Prinsip Pergerakan”, Prisma No.9 Tahun 1991,Jakarta: LP3ES,  hlm. 81
[13] Abdurrachman Surjomihardjo, 2002, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: PN Kompas, hlm. 65-70
[14] Leo Suryadinata, 1983, “ Liem Koen Hian Peranakan yang Mencari Identitas”, Prisma No 3 tahun 1983, Jakarta: LP3ES,  hlm. 80


Selasa, 06 November 2012

Kritik Bagi Kaum Empiris Rasional dan Kaum Dogmatis

         Kebenaran-kebenaran terakhir tidak pernah dijanjikan oleh cara-cara demokratis dalam berpolitik,  sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang tidak pernah bermuara dalam satu titik akhir. Hal ini dipegang teguh oleh orang-orang yang menyebut dirinya berasal dari kaum empiris nasional dan demokrat. Sebaliknya, kaum dogmatis dan totaliter tidak pernah puas dengan apa saja yang bukan merupakan jawaban terakhir. Kaum empiris rasional dan demokrat mengurus hal-hal yang lebih kecil, dan tidak berusaha menyelesaikan segala sesuatu uktuk memperoleh suatu kepastian akhir. Dalam permasalahan ekonomi, seorang demokrat lebih berkepentingan dengan makan di tengah hari disekolah-sekolaj tanpa bayar atau penambahan pajak penghasilan dua persen daripada memberikan jawaban akhir tentang kemiskinan atau penderitaan
Kaum empiris rasional taguh bahwa setiap pendapat tidak mungkin sempurna, kaum empiris rasional tidak merasa kritik sebagai suatu tanda kebejatan moral di pihak pengkritik. Kaum empiris rasional memandang kritik sebagai alat untuk memperbaiki pandangan terhadap segala sesuatu. Sementara itu seorang dogmatis berpikir sebaliknya bahwa, kebenaran yang ada pada dirinya merupakan kebenaran yang terakhir dan sempurna. Oleh sebab itu, kritik yang dilancarkan terhadap seseorang akan dianggap sebagai suatu kesalahan intelektual yang berat. Jika tidak dianggap sebagai kesalahan intelektual, kritik akan di cap sebagai suatu subversi moral

Sumber  :

Ebenstein, William. 2006.  Isme-Isme yang mengguncang Dunia:Komunisme, Fasisime, Kapitalisme,, dan Sosialisme. Yogyakarta: Narasi.



ww
ss