UA-150421350-1

Rabu, 07 November 2012

Realisasi Konsep Vilayat-I Faqih Dalam Konstitusi Pemerintahan Republik Islam Iran Periode Imam Ayatullah Khomeini


Abstrak
The concept of Vilayat-I Faqih is a concept that was born as a form of "process" Khomeini's ijtihad to respond to large-ghayb twelfth imam, Imam Mahdi al-Muntadzar. Vilayat-I Faqih Khomeini offers popular form of government with a source of law and the inherent sovereignty of God. Vilayat-I Faqih system is a system of democratic governance which is the divinity, because the system of "theology-democratic" are the people doing the people's sovereignty is limited by the sovereignty of God

Keywords: Vilayat-I Faqih, constitution, Syi’ah, theology-democratic

Pendahuluan
Revolusi Islam Iran tahun 1979 sampai saat ini masih membawa semangat, dan senantiasa akan menjadi kajian menarik setiap orang khususnya bagi pengamat politik Barat atau Islam dalam percaturan politik dewasa ini. Bahkan semangat revolusi tersebut kembali terevitalisasi dalam Revolusi Islam ke III Iran tahun 2005 dibawah pimpinan Ahmadinejad.[1]Revolusi Islam Iran telah mengubah sistem politik dan bentuk Negara Iran, yakni dari Monarki menjadi Republik Islam. Keberhasilan revolusi yang dipimpin oleh tokoh spiritual Islam Ayatullah Rullah Khomaeni telah memperkenalkan konsep kepemimpinan dalam negara yang dikenal dengan sebutan Vilayat-I Faqih.
Konsep Vilayat-I Faqih adalah kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran yang berada ditangan Imam. Maksud dari Imam adalah pemimpin spiritual yang menjadi dewan kepemimpinan (Shura-ye-Rahbari), bukan Imam sebagaiamana keyakinan umat syi’ah sepeninggalan Nabi Muhammad SAW.Langkah dan tindakan Khomaeni yang meletakkan konsep Vilayat-I Faqih dalam system politik dan konstitusi Iran sebagai upaya ijtihadnya merupakan keunikan tersendiri diantara negara-negara Islam lainnya. Negara-negara yang mayoritas beragama Islam atau yang secara formal mengaku Negara Islam tidak memiliki keinginan untuk mengadopsi konsep tersebut seperti halnya Negara Islam.
Konsep Vilayat-I Faqih
Konsep Vilayat-I Faqih merupakan konsep yang lahir sebagai bentuk “proses” ijtihad Khomeini untuk menanggapi ke-ghayb-an besar imam kedua belas, Imam Mahdi al-Muntadzar. Khomeini meyakini sesuai keimanan Syi’ah bahwa selama ghaibnya al-Mahdi, maka kepemimpinan umat harus berada dan menjadi hak para faqih agama yang saleh dan adil.Golongan Syi’ah imamiyah memegang teguh keyakinan bahwa pemerintahan hanyalah milik imam. Para imam berhak atas kepemimpinan politik dan otoritas keagaamaan. Setelah para imam tiada, maka kepemipinan harus dipegang oleh para faqih.
Jika imam berkewajiban membimbing umat, setelah berakhirnya proses penurunan wahyu atau setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, faqih brkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya proses imamah yakni setelah ketiadaan imam (ghaib qubro). Faqih tidak memiliki keistimewaan-keistimewaan seperti imam. Faqih merupakan pengemban otoritas umum imam, oleh karenanya teori Vilayat –I Faqih dalam beberapa hal merupakan kelanjutan dari doktrin imamah.[2]
Terdapat empat prinsip dasar yang harus ditegakkkan dalam konsep Vilayat-I Faqih . Pertama, Allah SWT adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah ) yang mewujudkan kepemimpinan Allah SWT dimuka bumi ialah kenabian dengan peraturan Allah SWT yang disampaikan kepada umat manusia melaui para Nabi. Ketiga, garis imamah menunjukan garis kelanjutan dari para Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah terdapat dua belas Imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Dan dua belas imam tersebut sekarang dalam keadaan ghaib besar. Suatu saat akan hadir kembali sebagai imam Mahdi al-Muntazhar. Keempat, pada saat imam dalam keadaan ghaib besar, kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqih. Fuquha adalah pengganti para imam . Pada mereka dipercayakan kepemimpinan (vilayat) atas umat.
Vilayat –I Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran , hadist, maupun ijtihad para faqih atau ulama. Abul A’la Maududi menyebut sistem pemerintahan yang terkonsep oleh Khomeini tersebut dengan “teokrasi” atau “kerajaan Tuhan”. Akan tetapi tentu saja system pemerintahan tersebut berbeda dengan teokrasi yang diterapkan di Eropa. Noor Arif Maulana dalam buku Revolusi Islam Iran menyebutnya dengan istilah baru, yakni system pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena dibawah  system “teo-demokratis” tersebut orang-orang  melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan.[3]

B.     Kelemahan Konsep Vilayat-I Faqih
Sebagai sebuah gagasan, Vilayat memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan. Pertama mengenai kriteria seorang faqih yang pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Jelas tidak mudah memilih seorang dengan kriteria yang ditetapkan dalam konsep Vilayat –I Faqih. Hal ini terlihat sekali ketika Khomeini wafat, kepemimpinannya di gantikan oleh Ali Khamenei. Kharisma Khameini sendiri cenderung menurun dibandingkan Khomeini sebagai pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran.
Kedua, konsep Vilayat-I Faqih dipandang telah memberikan peranan yang amat besar terhadap Ayatullah Khomeini dalam bidang kenegaraan.  Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipai politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Ketiga, tidak dilibatkannya peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan penetu kebijakan adalah para fuqaha. Hal tersebut sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dengan latar belakang kritikan tersebut, konsep Vilayat-I Faqih perlu melahirkan interpretasi baru yang menyajikan konsep baru dari doktrin Vilayat-I Faqih. Hal tersebut sangat manusiawi mengingat, Vilayat –I Faqih merupakan sebuah ijtihad Khomeini, yang interpretasi dan reinterpretasi baru selalu dibutuhkan sesuai dengan perkembangan zaman.

C.    Realisasi Vilayat-I Faqih Dalam Pemerintahan Iran

Pemerintahan
Kekuasaan legeslatif Republik Islam Iran ditangani oleh tiga lembaga yakni Majelis-e-Syura-e Islami (Majelis Konstitusi Islam), Shuraye-Nagabhan (Dewan perwalian Undang-Undang) dan Majelis –e Khubreqan (Majelis Ahli). Majelis-e-Syura-e Islami, berfungsi sebagai parlemen terdiri dari 270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai landasan falsafah Majelis adalah al-Quran surat asy-Syura ayat 38.
Kekuasaan imam yang besar dalam pemerintahan Republik Iran bukannya bersifat dictator yang tidak bias diturunkan dari jabatannya. Majelis Majelis –e Khubreqan berfungsi untuk memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin atau imam. Majelis ahli ini bernggotakan 73 ulama senior yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Shuraye-Nagabhan, majelis ini memiliki fungsi yang terbatas, tapi pada hakekatnya cukup menentukan. Majelis ini terdiri atas 12 orang, 6 fuqaha yang diangkat oleh imam dan 6 orang ahli hokum Majelis.
Kekuasaan eksekutif berada ditangan presiden yang masih berada dibawah garis kekuasaan imam atau Vilayat-I Faqih (rahbar) sesuai dengan pasal 113 bahwa Presiden bertanggung jawab dalam penerapan Undang-Undag Dasar, pengaturan ketiga cabng kekuasaa, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab imam atau pemimpin spiritual. Presiden dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan empat tahun.

Konstitusi
Secara politis Republik Islam Iran mencantumkan Vilayat –I Faqih dalam praktek penyelenggaraan pemerintahannya. Konstitusi Republik Iran 1979 merupakan satu-satunya undang-undang yang secara eksplisit mencantumkan konsepsi Vilayat –I Faqih
 Awalnya thesis Khomeini mengenai Vilayat I-Faqih pernah ditolak oleh sebagian Ayatullah yang hidup di era 1981. Seperti Abu al-Qasim al-khu’I dan sejumlah syariatmadari. Walaupun pada akhirnya mereka dapat menerima konsep Khomeini untuk diterapkan dinegara Iran.[4]
Doktrin “wewenang seorang faqih” (Vilayat I-Faqih) memungkinklan seorang faqih  berdiri sebagai pemegang otoritas hokum tertinggi dalam Negara. Faqih memiliki wewenag untuk menyatakan tidak sahnya suatu tindakan pemerintah atau perundangan yang dikeluarkan jika dipandang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Draft pertama konstitusi Republik Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis –I Mu’aissan (majelis konstituante) yang dibentuk berdasarkan dekrit Khomeini. Para anggota Majelis-Mu’aissan kemudian diubah menjadi Majelis –e Khubreqan (Majelis Ahli) yanga anggotanya dipilih oleh rakyat. Ketika sedang bersidang membahas konstitusi, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan konstitusi pembaharuan yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih.
Bagian pembukaan konstitusi 1979, tertulis
“rencana pemerintah Islam yang berdasarkan Vilayatul Faqih yang diwakili oleh Ayatullah Khomeini “
“Berdasarkan prinsip-prinsip Vilayat-I’Amr dan kepemimpinan yang terus menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih.”
Pasal 2 konstitusi 1979
“ Republik Islam Iran sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada (1) Tauhid, kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati perintahnya;(2) Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan Republik Islam.
Pasal 5 UUD Republik Islam Iran
“Selama ketidakhadiran imam yang keduabelas (semoga Allah mempercepat kedatangannya) dalam Republik Islam Iran, vilayat dan kepemimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum agama) yang adil dan takwa, mengenal zaman, pemberani, giat, berinisiatif yang dikenal dan diterimaoleh mayoritas umat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih semacam itu, suatu dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut diatas akan memegang tanggung jawab itu”
Melihat pasal diatas secara seksama, jelas kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran berada ditangan imam atau pemimpin spiritual. Besarnya kekuasaan imam atau pemimpin spiritual terlihat jelas dala sejumlah wewenang yang dimilikinya, hal tersebut menampakan secara jelas, konsep Vilayat-I Faqih gagasan Khomeini.

1.      Para alim ulama yang berhak menjadi penguasa dalam sebuah Negara Islam adalah lelaki yang mempunyai kecerdasan dan kepandaian yang luas sehingga mampu mengerahkan potensi masyarakat.
2.      Seorang fuqaha berfungsi sebagai pewaris nabi, oleh karenannya mempunyai tugas dan kewajiban  untuk mempergunakan angkatan bersenjata dan aparat politik demi pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran bangsa
3.      Membentuk pemerintahan atau Negara Islam, hukumnya wajib bagi setiap umat Islam khususnya para alim ulama dimanapun mereka berada, karena hal tersebut merupakan bagian utama dari akidah imamiyah.
4.      Negara atau pemerintahan Islam diperlukan demi tegaknya hukum-hukum Islam.
5.      Di dalam Negara Islam, para wakil rakyat tidak berhak membuat undang-undang, karena undang-undang atas dasar hukum(Islam) diperoleh lagsung dari Tuhan yaitu al_Quran dan al-Hadist.

Pasal 110 mengenai wewenang faqih
“ Faqih berwenang mengangkat dan memberhentikan para fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shunye Negahban); Pejabat Kehakiman Tertinggi Negara; Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam Nasional, mengangkat Komandan Ketiga Angkatan Bersenjata atas usulan Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional, menyatakan perang dan damai; dan mengesahkan serta pemberhentian Presiden”
Pasal 107 konstitusi 1979
Pasal 107 konstitusi 1979 secara eksplisit mengesahkan Ayatullah Khomeini sebagai Vilayat-I Faqih, “marja’I taqlid yang terkemuka dan kepemimpinan revolusi” ditambah lagi dengan penegasan dalam pasal 107 yang secara eksplisit menetapkan Khomeini sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara”.

Perkembangan Vilayat-I Faqih selanjutnya mengalami interpretasi baru sesuai dengan perkembangan zaman. Khususnya, ketika pemerintan Iran jatuh dipihak golongan reformis (Khatami), konsep Vilayat-I Faqih tidak sepenuhya dihapuskan meskipun pemikiran tersebut lahir dari golongan konservatif, golongan ulama.[5] Vilaya-I Faqih hanya mengalami reinterpretasi yang berbeda khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan. Kekuasaan lebih menekankan kedaulatan rakyat daripada otoritas dan kekuasaan kaum ulama.

Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakan bahwa konsep Vilayat-I Faqih merupakan konsep sistem pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena dibawah  system “teo-demokratis” tersebut orang-orang  melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Vilayat –I Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran , hadist, maupun ijtihad para faqih atau ulama.
Realisasi Vilayat-I Faqih dapat dilihat dari konstitusi Republik Islam Iran, yang secara fundamental dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih. Dalam bidang pemerintahan, konsep Vilayat-I Faqih terlihat jelas pada pembatasan kekuasaan presiden dan kedudukan presiden yang masih dibawah imam atau pemimpin spiritual.

Kepustakaan

Musthafa Abd. Rahman. 2003. Iran Pasca Reformasi. Jakarta : Kompas, 2003Muhsin

Labib,dkk. 2006. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta : Mizan.

Noor Arif Maulana.2005. Revolusi Islam Iran. Yogayakarta: Kreasi Wacana.








[1] Muhsin Labib,dkk. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia, (Jakarta : Mizan, 2006), hlm.150

[2] Noor Arif Maulana. Revolusi Islam Iran, (Yogayakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 88

[3] Ibid, hlm.93

[4] Ibid, hlm 93
[5] Musthafa Abd. Rahman. Iran Pasca Reformasi.(Jakarta : Kompas, 2003)hlm.  xxviii


0 komentar:

Posting Komentar

ww
ss