Abstrak
The
concept of Vilayat-I Faqih is a concept that was born as a form of
"process" Khomeini's ijtihad to respond to large-ghayb twelfth imam,
Imam Mahdi al-Muntadzar. Vilayat-I
Faqih Khomeini offers popular form of government with a source of law and the
inherent sovereignty of God. Vilayat-I Faqih system is a system of democratic
governance which is the divinity, because the system of
"theology-democratic" are the people doing the people's sovereignty
is limited by the sovereignty of God
Keywords: Vilayat-I Faqih, constitution, Syi’ah,
theology-democratic
Pendahuluan
Revolusi Islam Iran
tahun 1979 sampai saat ini masih membawa semangat, dan senantiasa akan menjadi
kajian menarik setiap orang khususnya bagi pengamat politik Barat atau Islam
dalam percaturan politik dewasa ini. Bahkan semangat revolusi tersebut kembali
terevitalisasi dalam Revolusi Islam ke III Iran tahun 2005 dibawah pimpinan
Ahmadinejad.[1]Revolusi
Islam Iran telah mengubah sistem politik dan bentuk Negara Iran, yakni dari
Monarki menjadi Republik Islam. Keberhasilan revolusi yang dipimpin oleh tokoh
spiritual Islam Ayatullah Rullah Khomaeni telah memperkenalkan konsep
kepemimpinan dalam negara yang dikenal dengan sebutan Vilayat-I Faqih.
Konsep Vilayat-I
Faqih adalah kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran
yang berada ditangan Imam. Maksud dari Imam adalah pemimpin spiritual yang
menjadi dewan kepemimpinan (Shura-ye-Rahbari), bukan Imam sebagaiamana
keyakinan umat syi’ah sepeninggalan Nabi Muhammad SAW.Langkah dan tindakan
Khomaeni yang meletakkan konsep Vilayat-I Faqih dalam system
politik dan konstitusi Iran sebagai upaya ijtihadnya merupakan keunikan
tersendiri diantara negara-negara Islam lainnya. Negara-negara yang mayoritas
beragama Islam atau yang secara formal mengaku Negara Islam tidak memiliki
keinginan untuk mengadopsi konsep tersebut seperti halnya Negara Islam.
Konsep Vilayat-I Faqih
Konsep Vilayat-I
Faqih merupakan konsep yang lahir sebagai bentuk “proses” ijtihad
Khomeini untuk menanggapi ke-ghayb-an besar imam kedua belas, Imam Mahdi
al-Muntadzar. Khomeini meyakini sesuai keimanan Syi’ah bahwa
selama ghaibnya al-Mahdi, maka kepemimpinan umat harus berada dan menjadi hak
para faqih agama yang saleh dan adil.Golongan Syi’ah imamiyah
memegang teguh keyakinan bahwa pemerintahan hanyalah milik imam. Para imam berhak
atas kepemimpinan politik dan otoritas keagaamaan. Setelah para imam tiada,
maka kepemipinan harus dipegang oleh para faqih.
Jika imam
berkewajiban membimbing umat, setelah berakhirnya proses penurunan wahyu atau
setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, faqih brkewajiban membimbing umat
setelah berakhirnya proses imamah yakni setelah ketiadaan imam (ghaib qubro).
Faqih tidak memiliki keistimewaan-keistimewaan seperti imam. Faqih merupakan
pengemban otoritas umum imam, oleh karenanya teori Vilayat –I Faqih dalam
beberapa hal merupakan kelanjutan dari doktrin imamah.[2]
Terdapat empat
prinsip dasar yang harus ditegakkkan dalam konsep Vilayat-I Faqih .
Pertama, Allah SWT adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.
Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah ) yang mewujudkan
kepemimpinan Allah SWT dimuka bumi ialah kenabian dengan peraturan Allah SWT
yang disampaikan kepada umat manusia melaui para Nabi. Ketiga, garis imamah
menunjukan garis kelanjutan dari para Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham
Syi’ah terdapat dua belas Imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan
dosa. Dan dua belas imam tersebut sekarang dalam keadaan ghaib besar. Suatu
saat akan hadir kembali sebagai imam Mahdi al-Muntazhar. Keempat, pada saat
imam dalam keadaan ghaib besar, kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para
faqih. Fuquha adalah pengganti para imam . Pada mereka dipercayakan
kepemimpinan (vilayat) atas umat.
Vilayat –I Faqih yang ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan
sumber hukum dan kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab
itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan
masyarakat dan Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran
, hadist, maupun ijtihad para faqih atau ulama. Abul A’la Maududi menyebut
sistem pemerintahan yang terkonsep oleh Khomeini tersebut dengan “teokrasi”
atau “kerajaan Tuhan”. Akan tetapi tentu saja system pemerintahan tersebut
berbeda dengan teokrasi yang diterapkan di Eropa. Noor Arif Maulana dalam buku
Revolusi Islam Iran menyebutnya dengan istilah baru, yakni system pemerintahan
demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena dibawah system
“teo-demokratis” tersebut orang-orang melaksanakan kedaulatan rakyat yang
dibatasi oleh kedaulatan Tuhan.[3]
B. Kelemahan
Konsep Vilayat-I Faqih
Sebagai sebuah
gagasan, Vilayat memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan. Pertama mengenai
kriteria seorang faqih yang pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Jelas tidak
mudah memilih seorang dengan kriteria yang ditetapkan dalam konsep Vilayat
–I Faqih. Hal ini terlihat sekali ketika Khomeini wafat, kepemimpinannya di
gantikan oleh Ali Khamenei. Kharisma Khameini sendiri cenderung menurun
dibandingkan Khomeini sebagai pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam
Iran.
Kedua, konsep Vilayat-I
Faqih dipandang telah memberikan peranan yang amat besar terhadap
Ayatullah Khomeini dalam bidang kenegaraan. Hal ini mengakibatkan
kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat
rendah. Padahal dalam sistem demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan
partisipai politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Ketiga,
tidak dilibatkannya peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
sedangkan penetu kebijakan adalah para fuqaha. Hal tersebut sangat berbeda
dengan sistem demokrasi yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dengan latar belakang
kritikan tersebut, konsep Vilayat-I Faqih perlu melahirkan
interpretasi baru yang menyajikan konsep baru dari doktrin Vilayat-I
Faqih. Hal tersebut sangat manusiawi mengingat, Vilayat –I Faqih merupakan
sebuah ijtihad Khomeini, yang interpretasi dan reinterpretasi baru selalu
dibutuhkan sesuai dengan perkembangan zaman.
C. Realisasi
Vilayat-I Faqih Dalam Pemerintahan Iran
Pemerintahan
Kekuasaan legeslatif
Republik Islam Iran ditangani oleh tiga lembaga yakni Majelis-e-Syura-e
Islami (Majelis Konstitusi Islam), Shuraye-Nagabhan (Dewan
perwalian Undang-Undang) dan Majelis –e Khubreqan (Majelis
Ahli). Majelis-e-Syura-e Islami, berfungsi sebagai parlemen terdiri dari
270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai landasan falsafah
Majelis adalah al-Quran surat asy-Syura ayat 38.
Kekuasaan imam yang besar dalam
pemerintahan Republik Iran bukannya bersifat dictator yang tidak bias
diturunkan dari jabatannya. Majelis Majelis –e Khubreqan berfungsi
untuk memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin atau imam. Majelis ahli
ini bernggotakan 73 ulama senior yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis
Shuraye-Nagabhan, majelis ini memiliki fungsi yang terbatas, tapi pada
hakekatnya cukup menentukan. Majelis ini terdiri atas 12 orang, 6 fuqaha yang
diangkat oleh imam dan 6 orang ahli hokum Majelis.
Kekuasaan eksekutif
berada ditangan presiden yang masih berada dibawah garis kekuasaan imam atau Vilayat-I
Faqih (rahbar) sesuai dengan pasal 113 bahwa Presiden bertanggung
jawab dalam penerapan Undang-Undag Dasar, pengaturan ketiga cabng kekuasaa, dan
memimpin cabang eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi
tanggung jawab imam atau pemimpin spiritual. Presiden dipilih melalui pemilihan
umum untuk masa jabatan empat tahun.
Konstitusi
Secara politis
Republik Islam Iran mencantumkan Vilayat –I Faqih dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahannya. Konstitusi Republik Iran 1979 merupakan
satu-satunya undang-undang yang secara eksplisit mencantumkan konsepsi Vilayat
–I Faqih
Awalnya thesis Khomeini mengenai Vilayat
I-Faqih pernah ditolak oleh sebagian Ayatullah yang hidup di era 1981.
Seperti Abu al-Qasim al-khu’I dan sejumlah syariatmadari. Walaupun pada
akhirnya mereka dapat menerima konsep Khomeini untuk diterapkan dinegara Iran.[4]
Doktrin “wewenang
seorang faqih” (Vilayat I-Faqih) memungkinklan seorang faqih
berdiri sebagai pemegang otoritas hokum tertinggi dalam Negara. Faqih
memiliki wewenag untuk menyatakan tidak sahnya suatu tindakan pemerintah atau
perundangan yang dikeluarkan jika dipandang bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
Draft pertama konstitusi
Republik Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis –I Mu’aissan (majelis
konstituante) yang dibentuk berdasarkan dekrit Khomeini. Para anggota
Majelis-Mu’aissan kemudian diubah menjadi Majelis –e Khubreqan (Majelis
Ahli) yanga anggotanya dipilih oleh rakyat. Ketika sedang bersidang membahas
konstitusi, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan
konstitusi pembaharuan yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental
dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih.
Bagian pembukaan konstitusi 1979,
tertulis
“rencana pemerintah Islam yang berdasarkan Vilayatul Faqih yang
diwakili oleh Ayatullah Khomeini “
“Berdasarkan prinsip-prinsip Vilayat-I’Amr dan
kepemimpinan yang terus menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan
bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih.”
Pasal 2 konstitusi 1979
“ Republik Islam Iran sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan
pada (1) Tauhid, kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya
semata-mata serta kewajiban menaati perintahnya;(2) Imamah dan kelanjutan
kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan Republik Islam.
Pasal 5 UUD Republik Islam Iran
“Selama ketidakhadiran imam yang keduabelas (semoga Allah mempercepat
kedatangannya) dalam Republik Islam Iran, vilayat dan kepemimpinan umat
merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum agama) yang adil dan
takwa, mengenal zaman, pemberani, giat, berinisiatif yang dikenal dan
diterimaoleh mayoritas umat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih semacam
itu, suatu dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi
syarat-syarat tersebut diatas akan memegang tanggung jawab itu”
Melihat pasal diatas
secara seksama, jelas kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran berada ditangan
imam atau pemimpin spiritual. Besarnya kekuasaan imam atau pemimpin spiritual
terlihat jelas dala sejumlah wewenang yang dimilikinya, hal tersebut menampakan
secara jelas, konsep Vilayat-I Faqih gagasan Khomeini.
1.
Para alim ulama yang berhak menjadi
penguasa dalam sebuah Negara Islam adalah lelaki yang mempunyai kecerdasan dan
kepandaian yang luas sehingga mampu mengerahkan potensi masyarakat.
2.
Seorang fuqaha berfungsi sebagai
pewaris nabi, oleh karenannya mempunyai tugas dan kewajiban untuk
mempergunakan angkatan bersenjata dan aparat politik demi pelaksanaan
hukum-hukum Tuhan, serta membentuk suatu sistem pemerintahan demi kemakmuran
bangsa
3.
Membentuk pemerintahan atau Negara
Islam, hukumnya wajib bagi setiap umat Islam khususnya para alim ulama
dimanapun mereka berada, karena hal tersebut merupakan bagian utama dari akidah
imamiyah.
4.
Negara atau pemerintahan Islam
diperlukan demi tegaknya hukum-hukum Islam.
5.
Di dalam Negara Islam, para wakil
rakyat tidak berhak membuat undang-undang, karena undang-undang atas dasar
hukum(Islam) diperoleh lagsung dari Tuhan yaitu al_Quran dan al-Hadist.
Pasal 110 mengenai wewenang faqih
“ Faqih berwenang mengangkat dan memberhentikan para fuqaha anggota
Dewan Perwalian (Shunye Negahban); Pejabat Kehakiman Tertinggi Negara; Kepala
Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam Nasional, mengangkat
Komandan Ketiga Angkatan Bersenjata atas usulan Dewan Tertinggi Pertahanan
Nasional, menyatakan perang dan damai; dan mengesahkan serta pemberhentian
Presiden”
Pasal 107 konstitusi 1979
Pasal 107 konstitusi 1979 secara eksplisit mengesahkan Ayatullah
Khomeini sebagai Vilayat-I Faqih, “marja’I taqlid yang terkemuka
dan kepemimpinan revolusi” ditambah lagi dengan penegasan dalam pasal 107 yang
secara eksplisit menetapkan Khomeini sebagai kepala pemerintahan sekaligus
sebagai kepala Negara”.
Perkembangan Vilayat-I
Faqih selanjutnya mengalami interpretasi baru sesuai dengan
perkembangan zaman. Khususnya, ketika pemerintan Iran jatuh dipihak golongan
reformis (Khatami), konsep Vilayat-I Faqih tidak sepenuhya
dihapuskan meskipun pemikiran tersebut lahir dari golongan konservatif,
golongan ulama.[5]
Vilaya-I Faqih hanya mengalami reinterpretasi yang berbeda
khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan. Kekuasaan lebih menekankan
kedaulatan rakyat daripada otoritas dan kekuasaan kaum ulama.
Penutup
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulakan bahwa konsep Vilayat-I Faqih merupakan
konsep sistem pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena
dibawah system “teo-demokratis” tersebut orang-orang melaksanakan
kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Vilayat –I Faqih yang
ditawarkan Khomeini adalah bentuk pemerintahan rakyat dengan sumber hukum dan
kedaulatan yang tetap berpegang teguh pada Tuhan. Oleh sebab itu konstitusi
maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan
Negara harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera pada Al-Quran , hadist,
maupun ijtihad para faqih atau ulama.
Realisasi Vilayat-I
Faqih dapat dilihat dari konstitusi Republik Islam Iran, yang secara
fundamental dengan memasukan 5 pasal mengenai Vilayat –I Faqih. Dalam
bidang pemerintahan, konsep Vilayat-I Faqih terlihat jelas
pada pembatasan kekuasaan presiden dan kedudukan presiden yang masih dibawah
imam atau pemimpin spiritual.
Kepustakaan
Musthafa Abd. Rahman. 2003. Iran
Pasca Reformasi. Jakarta : Kompas, 2003Muhsin
Labib,dkk. 2006. Ahmadinejad!
David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta : Mizan.
Noor Arif Maulana.2005. Revolusi
Islam Iran. Yogayakarta: Kreasi Wacana.
0 komentar:
Posting Komentar