Depresi ekonomi dunia atau krisis besar dunia membawa pengaruh buruk
terhadap negeri-negeri seberang lautan termasuk Indonesia. Harga beras, jagung,
dan umbi-umbian segera merosot bersamaan dengan turunnya harga bahan ekspor. Pada
tahun 1933 sekitar 84 % pabrik gula ditutup, dan selebihnya dilanjutkan dengan
cara menurunkan upah menjadi setengahnya.[1]
Perusahaan hampir keseluruhan mengalami kerugian. Ribuan pekerja Eropa
dipulangkan ke negeri asalnya. Ribuan Indo-Eropa, Tionghoa dan penduduk asli
kehilangan lapangan pekerjaan
Pemerintah kolonial Belanda telah berusaha melakukan diferensiasi
lapangan kerja pada tahun 1930. Namun
hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, karena masalah pengangguran juga
disebabkan oleh besarnya pertambahan penduduk di Jawa, sekitar 17,6 % per
seribu jiwa.[2]
Permasalahan ekonomi dan kondisi masyarakat pribumi tersebut pada akhirnya
menarik perhatian kaum pergerakan.
Agresivitas fasisme di Eropa dan permasalahan ekonomi dalam negeri turut
memberikan harapan baru bagi kaum pergerakan.[3]
Beberapa partai diantaranya, Partai Indonesia
(Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) lebih memilih garis nonkooperasi. Organisasi politik lebih
banyak tampil sebagai penyuara gagasan radikal, at the last seven years of Deutch colonial rule in fact saw the gradual
conversion of the Indonesian Nationalist movement from domination by non-cooperators
towards acceptance of cooperation as a feasible strategy[4]
Pemberontakan Awak
Kapal De Zeven Provincien Tahun 1933
Politik reaksioner
dari Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936) telah membuka halaman baru dalam
politik kolonial pada awal tahun tiga puluhan. Politik reaksioner de Jonge
tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional. Dengan hak exorbitant, de Jonge melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh
yang dipandang sebagai kelompok extremis. Ir. Soekarno diasingkan ke Flores
kemudian dipindah ke Bengkulu. Moh.Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Digul
Atas dan kemudian dipindahkan ke Banda. Berpuluh-puluh tokoh yang terlibat
dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 mengalami nasib yang sama. de Jonge
mendeportasi kaum extremis ke Digul Atas yang berasal dari organisasi-organisasi
PKI, PNI, Partindo, dan Premi.[5]
Rapat-rapat yang
diselenggarakan oleh tokoh radikal pergerakan nasional pada awal tahun 1933 dibubarkan
oleh polisi. Rapat-rapat tersebut dipandang sebagai forum penghasut bagi
masyarakat pribumi untuk melakukan pemberontakan. Pembubaran rapat-rapat antara
lain terjadi di Surabaya, Purworejo, Probolinggo, Cilacap, Kebumen dan beberapa
daerah lain. Bagi Partindo, pembubaran rapat-rapat dianggap sangat
menguntungkan karena dapat menjadi bahan propaganda untuk lebih radikal
terhadap politik pemerintah kolonial yang merugikan.
Perkumpulan-perkumpulan
serikat sekerja sebagai akibat pengurangan dan pemecatan pegawai-pegawai, terus
melangsungkan protes kebijakan de Jonge. Serikat Sekerja Pegawai Negeri
(Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri-PVPN) menentang dengan keras kebijakan
penurunan gaji pegawai negeri. Pada bulan Desember 1931, Perserikatan Guru
Hindia Belanda (PGHB) mengadakan rapat protes terhadap kebijaksanaan de Jonge
yang hendak melakukan penghematan besar-besaran di bidang pengajaran. Aksi PGHB
ini mendapat dukungan dari perkumpulan–perkumpulan politik seperti Budi Utomo,
Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Persatuan Selebes.
Pada
akhir tahun 1932, Partindo dan PNI Baru menyebarkan pamflet-pamflet yang
bernada revolusioner. PNI Baru cabang Surabaya pada bulan Januari 1933
menyebarkan pamflet atau selebaran merah yang menyerukan suatu revolusi dalam
semangat Marhaen Indonesia agar kemerdekaan dapat tercapai. Selebaran tersebut
menjadi semacam agitasi yang menyebabkan pegawai bawahan Angkatan Laut
mengadakan aksi protes menentang penurunan gaji.
Agitasi dari
pamflet-pamflet revolusioner mencapai puncak pada aksi protes awak kapal perang
“De Zeven Provincien”. Kapal Perang “De
Zeven Provincien “ termasuk pendukung utama dalam kekuatan maritim Belanda di
Indonesia. Kapal perang ini dipersiapkan untuk menghadapi Jepang dalam Perang
Pasifik. Kapal Perang “ De Zeven
Provincien” dibangun pada tahun 1908 di Amsterdam dan memulai tugasnya pada
tahun 1910 ke Hindia Belanda. Kapal ini
dipersenjatai dengan beberapa pucuk meriam.
Ukuran panjangnya 107, 80 m, lebar 17,50 m dan bobotnya 6.525 ton. Anak kapal perang ini terdiri dari
141 orang Belanda, termasuk 30 orang perwira dan 22 orang tamtama, 256 orang
bumiputera.
Aksi protes awak Kapal “De Zeven Provincien” dimulai dengan pemogokan
tenaga kerja yang dilakukan oleh para pelaut Belanda di Surabaya pada tanggal
30 Januari 1933. Pemogokan-pemogokan tersebut diikuti oleh para pelaut
Indonesia pada tanggal 3 Februari 1933. Serikat Sekerja Pegawai Bawahan Angkatan Laut
di Surabaya menyelenggarakan rapat-rapat dan protes terhadap penurunan gaji
sebesar 17%. Pemogokan-pemogokan Buruh serupa sebelumnya pernah terjadi pada
akhir 1910-an dan awal 1920-an, masa the
age of strikes[6] Permulaan Januari 1933, kapal “De Zeven
Provincien” mendapat tugas berlayar dari Surabaya untuk mengelilingi Pulau
Sumatra. Dalam rencana pelayarannya, komandan kapal perang “De Zeven
Provincien” memperkirakan akan tiba kembali di pelabuhan Surabaya pada tanggal 1
Maret 1933. Awak kapal “De Zeven Provincien” yang berkebangsaan Indonesia
dibawah pimpinan Paradja, Rumambi dengan bantuan seorang kelasi Indonesia,
Kawilarang memutuskan mengambil alih kapal tersebut dari tangan awak kapal
Belanda.
Menurut rencana kapal perang itu akan dilayarkan kembali ke Surabaya
sebagai aksi protes terhadap kebijaksanaan pemerintah yang telah menurunkan
gaji sebesar 17%. Aksi protes juga menuntut pembebasan para pelaut Indonesia
yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah karena terlibat aksi protes yang
dilancarkan Serikat Sekerja Pegawai Bawahan Angkatan Laut.
Meskipun rencana
pemberontakan yang akan dimulai di Olele telah diketahui desas-desusnya oleh
para kelasi yang berkebangsaan Belanda, mereka justru mendukung rekan-rekannya
yang berkebangsaan Indonesia. Kemudian,
tanggal 4 Februari 1933 dipilih oleh awak kapal untuk memulai aksi
protesnya. Perlawanan tersebut baru akan dihentikan apabila tuntutan mereka
disetujui pemerintah.
Meskipun rencana pengambil-alihan kapal perang dirahasiakan, beberapa
perwira Belanda yang masih bertugas didalam kapal mulai menyadari rencana
tersebut. Agaknya komandan kapal perang
“De Zeven provincien” Letkol Eikenboom yang sedang menghadiri resepsi yang
diselenggarakan oleh Gubernur Militer wilayah Aceh tidak cukup hanya percaya
kepada laporan perwira Belanda. Resepsi militer di Olele merupakan pertemuan
antara Angkatan darat dengan pasukan marine
Belanda yang sedang bertugas dalam pelayaran di kapal perang “De Zeven
Provincien”.
Ketika kapal perang “ De Zeven Provincien” melintas di Padang pada
tanggal 9 Februari 1933, Belanda sudah mengkhawatirkan akan kemungkinan
penembakan pelabuhan Padang oleh kapal perang.
Demikian pula ketika kapal memasuki Selat Sunda pada tanggal 10 Februari
1933, Belanda telah bersiaga dengan kapal selam untuk mengepung kapal perang “
De Zeven Provincien” agar tidak melintasi Batavia.
Agar para pemberontak segera
menyerahkan diri, pesawat udara Dormier milik Angkatan Udara Hindia Belanda
diterbangkan ke Selat Sunda. Pesawat udara tersebut mengemban misi mengirimkan
isyarat-isyarat melalui komunikasi radio kepada awak kapal dan memperingatkan
adanya ancaman bom jika awak kapal “De Zeven Provincien” tidak menghentikan
kapal. Peringatan yang diberikan komandan pesawat Dormier awalnya hanya
dianggap sebagai ancaman belaka, awak kapal tetap bersikeras melanjutkan
perjalanannya ke Surabaya. Tetapi pada kenyataanya komandan pesawat Dormier
benar-benar membuktikan ancamannya dengan menjatuhkan bom terhadap kapal perang
“De Zeven Provincien” pada tanggal 10 Februari 1933.
Sekitar enam belas awak kapal Indonesia gugur dalam pengeboman tersebut.
Mereka yang gugur dimakamkan tanpa upacara di sebuah pulau kecil di dekat Pulau
Onrust di Teluk Jakarta. Sedangkan para pelaut Belanda yang gugur dimakamkan di
Pulau Bidadari. Awak kapal Indonesia yang selamat dari insiden tersebut antara
lain Kawilarang, seorang kelasi yang mengambil bagian kepemimpinan dalam
pemberontakan tersebut. Oleh pengadilan Hindia Belanda Kawilarang dijatuhi
hukuman enam belas tahun penjara.
Eksistensi Kaum
Pergerakan Nasional
Dua
hari setelah pemberontakan kapal perang “ De Zeven Provincies” suatu pawai
kesetiaan dilangsungkan di depan istana Gubernur Jenderal di Batavia. Meskipun
mendapat berbagai macam kritikan, de Jonge tetap akan mempertahankan kebijakan
dalam pemerintahannya dan apa yang telah di capai selama tiga ratus tahun ini.
Sebenarnya de Jonge
risau atas kejadian-kejadian di Hindia Belanda pada masa periode
pemerintahannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi memperlihatkan bahwa de Jonge
tidak terlalu memiliki kendali atas Hindia Belanda. Kebijakan penurunan gaji,
pengurangan dan pemecatan pegawai telah mengundang protes, tidak hanya dari penduduk pribumi namun juga
dari orang-orang Eropa. Pasca pemberontakan kapal perang tersebut, de Jonge
mengambil tindakan lebih keras terhadap kaum nasionalis radikal
Jaksa Agung, Verheyen
dalam laporannya terhadap Gubernur Jenderal pada tanggal 10 Februari 1933
dengan bukti yang terbatas menjelaskan keterlibatan PNI Baru Cabang Surabaya
dalam insiden kapal perang “ De Zeven Provincien”. Pihak kolonial segera
mengalamatkan aksi radikal kepada pemimpin Partindo, PNI Baru. Verheyen menyatakan
bahwa PNI Baru merupakan partai paling berbahaya diantara partai-partai
nasional lain karena pemimpinnya yang revolusioner.
Verheyen memerintahkan masing-masing kepada kepala pemerintah daerah
untuk menyelidiki lebih teliti rapat-rapat politik kaum nasionalis dan melarang
agitasi ekstrim. Polisi dan pemerintah daerah dengan terang-terangan
meningkatkan campur tangannya terhadap rapat-rapat umum PNI Baru dan Partindo.
Para pembicara dalam rapat dilarang membahas masalah-masalah yang berhubungan
dengan depresi ekonomi, imperialisme, dan ide-ide politik kaum nasionalis.
Tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap sebagai kaum radikal tanpa diproses
dalam pengadilan diasingkan, diantaranya Soekarno, Hatta, Sjahrir dan pemimpin
nasionalis lainnya. Gerakan nasional Indonesia berada dibawah kebijakan
represif de Jonge,
With the arrest and exile of Soekarno, Hatta, Sjahrir and other dynamic
nationalist leaders and with the continuance of a strongly repressive policy under
Governor-General de Jonge, the Indonesian nationalist movement was forced in to
much shallower political channels than it previously had reached.[7]
Ancaman
yang terus menerus terhadap pergerakan nasional dan terhadap tokoh tokoh
beserta pengurus partai membuat pergerakan nasional tahun 1930-an harus bersikap
lunak terhadap pemerintah kolonial. [8]
Secara tidak langsung peristiwa pemberontakan kapal perang “De Zeven
Provincien” mempengaruhi jalannya politik di negeri Belanda tahun 1933-1942. Depresi
ekonomi, kebijaksanaan politik reaksioner dan suasana radikal dari kaum
nasionalis yang telah menyebabkan terjadinya pemberontakan menjadi suatu
peringatan bagi negara induk untuk kemudian memperkuat kebijakan pertahanan di
negeri jajahan. Meskipun pada kenyataannya, kebijakan tersebut banyak dikecam
karena membutuhkan anggaran yang besar. Sebab
Negeri Belanda sendiri masih membutuhkan waktu
untuk menjaga kestabilan ekonomi akibat depresi ekonomi tahun 1930.
Sumber:
Abeyasekere,
Susan. 1976. One Hand Clapping: Indonesian Nationalist and the Dutch
1939-1942. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies.
Kahin,
George Mc Turnan. 1952. Nationalisme & Revolution in Indonesia. USA
: Cornell University.
Sartono
Kartodirdjo. 1977. Sejarah nasional Indonesia
Jilid V. Jakarta:Balai Pustaka.
Suyatno
Kartodirjo. 1988. “Pemberontakan Anak Kapal “Zeven Provincien” Tahun 1933”, Prisma
No 7 Tahun 1988.
Vedi R.
Hadizt. 1994. Gerakan Buruh Dalam Sejarah Politik Indonesia. Prisma No
10 tahun 1994.
Wilson.1944.
“Kaum Pergerakan Di Hindia Belanda 1930-an: Reaksi Terhadap Fasisme”. Prisma
No 10 Tahun 1994.
[1] Suyatno
Kartodirdjo, 1988, “ Pemberontakan Anak Buah Kapal “ Zeven Provincien” tahun
1933”, Prisma edisi No 7 Tahun XVII,
hlm. 4
[3] Wilson,
1995, “ Kaum Pergerakan di Hindia
Belanda 1930-an”, Prisma edisi No 10
tahun 1994, hlm. 42
[4] Abeyasekere,
Susan, 1976, One Hand Clapping: Indonesian Nationalist and the Dutch
1939-1942, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, hlm. 1
[5] Sartono Kartodirdjo, 1977, Sejarah nasional Indonesia Jilid V,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 90
[6]Vedi R. Hadiz, 1994, “Gerakan
Buruh dalam Sejarah Politik Indonesia”, Prisma
edisi No 10 Tahun 1994, hlm. 77
[7]Kahin, George
McTurnan. 1952, Nationalism and
Revolution Indonesia , London :Cornell University Press, hlm. 94
[8]Onghokham, 1989, Runtuhnya
Hindia Belanda, Jakarta: PT Gramedia, hlm 54