UA-150421350-1

Selasa, 18 September 2012

Pemberontakan Awak Kapal Zeven Provincien Tahun 1933


Depresi ekonomi dunia atau krisis besar dunia membawa pengaruh buruk terhadap negeri-negeri seberang lautan termasuk Indonesia. Harga beras, jagung, dan umbi-umbian segera merosot bersamaan dengan turunnya harga bahan ekspor. Pada tahun 1933 sekitar 84 % pabrik gula ditutup, dan selebihnya dilanjutkan dengan cara menurunkan upah menjadi setengahnya.[1] Perusahaan hampir keseluruhan mengalami kerugian. Ribuan pekerja Eropa dipulangkan ke negeri asalnya. Ribuan Indo-Eropa, Tionghoa dan penduduk asli kehilangan lapangan pekerjaan
Pemerintah kolonial Belanda telah berusaha melakukan diferensiasi lapangan kerja pada tahun 1930.  Namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, karena masalah pengangguran juga disebabkan oleh besarnya pertambahan penduduk di Jawa, sekitar 17,6 % per seribu jiwa.[2] Permasalahan ekonomi dan kondisi masyarakat pribumi tersebut pada akhirnya menarik perhatian kaum pergerakan.
Agresivitas fasisme di Eropa dan permasalahan ekonomi dalam negeri turut memberikan harapan baru bagi kaum pergerakan.[3] Beberapa partai diantaranya, Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) lebih memilih garis nonkooperasi. Organisasi politik lebih banyak tampil sebagai penyuara gagasan radikal, at the last seven years of Deutch colonial rule in fact saw the gradual conversion of the Indonesian Nationalist movement from domination by non-cooperators towards acceptance of cooperation as a feasible strategy[4]

Pemberontakan Awak Kapal De Zeven Provincien Tahun 1933
              Politik reaksioner dari Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936) telah membuka halaman baru dalam politik kolonial pada awal tahun tiga puluhan. Politik reaksioner de Jonge tidak mengakui eksistensi pergerakan nasional. Dengan hak exorbitant, de Jonge melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dipandang sebagai kelompok extremis. Ir. Soekarno diasingkan ke Flores kemudian dipindah ke Bengkulu. Moh.Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Digul Atas dan kemudian dipindahkan ke Banda. Berpuluh-puluh tokoh yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 mengalami nasib yang sama. de Jonge mendeportasi kaum extremis ke Digul Atas yang berasal dari organisasi-organisasi PKI, PNI, Partindo, dan Premi.[5]
            Rapat-rapat yang diselenggarakan oleh tokoh radikal pergerakan nasional pada awal tahun 1933 dibubarkan oleh polisi. Rapat-rapat tersebut dipandang sebagai forum penghasut bagi masyarakat pribumi untuk melakukan pemberontakan. Pembubaran rapat-rapat antara lain terjadi di Surabaya, Purworejo, Probolinggo, Cilacap, Kebumen dan beberapa daerah lain. Bagi Partindo, pembubaran rapat-rapat dianggap sangat menguntungkan karena dapat menjadi bahan propaganda untuk lebih radikal terhadap politik pemerintah kolonial yang merugikan.
            Perkumpulan-perkumpulan serikat sekerja sebagai akibat pengurangan dan pemecatan pegawai-pegawai, terus melangsungkan protes kebijakan de Jonge. Serikat Sekerja Pegawai Negeri (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri-PVPN) menentang dengan keras kebijakan penurunan gaji pegawai negeri. Pada bulan Desember 1931, Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) mengadakan rapat protes terhadap kebijaksanaan de Jonge yang hendak melakukan penghematan besar-besaran di bidang pengajaran. Aksi PGHB ini mendapat dukungan dari perkumpulan–perkumpulan politik seperti Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Persatuan Selebes.
            Pada akhir tahun 1932, Partindo dan PNI Baru menyebarkan pamflet-pamflet yang bernada revolusioner. PNI Baru cabang Surabaya pada bulan Januari 1933 menyebarkan pamflet atau selebaran merah yang menyerukan suatu revolusi dalam semangat Marhaen Indonesia agar kemerdekaan dapat tercapai. Selebaran tersebut menjadi semacam agitasi yang menyebabkan pegawai bawahan Angkatan Laut mengadakan aksi protes menentang penurunan gaji.
            Agitasi dari pamflet-pamflet revolusioner mencapai puncak pada aksi protes awak kapal perang “De Zeven Provincien”.  Kapal Perang “De Zeven Provincien “ termasuk pendukung utama dalam kekuatan maritim Belanda di Indonesia. Kapal perang ini dipersiapkan untuk menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik.  Kapal Perang “ De Zeven Provincien” dibangun pada tahun 1908 di Amsterdam dan memulai tugasnya pada tahun 1910 ke Hindia Belanda.  Kapal ini dipersenjatai dengan beberapa pucuk meriam.  Ukuran panjangnya 107, 80 m, lebar 17,50 m dan bobotnya  6.525 ton. Anak kapal perang ini terdiri dari 141 orang Belanda, termasuk 30 orang perwira dan 22 orang tamtama, 256 orang bumiputera.
Aksi protes awak Kapal “De Zeven Provincien” dimulai dengan pemogokan tenaga kerja yang dilakukan oleh para pelaut Belanda di Surabaya pada tanggal 30 Januari 1933. Pemogokan-pemogokan tersebut diikuti oleh para pelaut Indonesia pada tanggal 3 Februari 1933.  Serikat Sekerja Pegawai Bawahan Angkatan Laut di Surabaya menyelenggarakan rapat-rapat dan protes terhadap penurunan gaji sebesar 17%. Pemogokan-pemogokan Buruh serupa sebelumnya pernah terjadi pada akhir 1910-an dan awal 1920-an, masa the age of strikes[6]   Permulaan Januari 1933, kapal “De Zeven Provincien” mendapat tugas berlayar dari Surabaya untuk mengelilingi Pulau Sumatra. Dalam rencana pelayarannya, komandan kapal perang “De Zeven Provincien” memperkirakan akan tiba kembali di pelabuhan Surabaya pada tanggal 1 Maret 1933. Awak kapal “De Zeven Provincien” yang berkebangsaan Indonesia dibawah pimpinan Paradja, Rumambi dengan bantuan seorang kelasi Indonesia, Kawilarang memutuskan mengambil alih kapal tersebut dari tangan awak kapal Belanda.
Menurut rencana kapal perang itu akan dilayarkan kembali ke Surabaya sebagai aksi protes terhadap kebijaksanaan pemerintah yang telah menurunkan gaji sebesar 17%. Aksi protes juga menuntut pembebasan para pelaut Indonesia yang ditangkap dan ditahan oleh pemerintah karena terlibat aksi protes yang dilancarkan Serikat Sekerja Pegawai Bawahan Angkatan Laut.
            Meskipun rencana pemberontakan yang akan dimulai di Olele telah diketahui desas-desusnya oleh para kelasi yang berkebangsaan Belanda, mereka justru mendukung rekan-rekannya yang berkebangsaan Indonesia. Kemudian,  tanggal 4 Februari 1933 dipilih oleh awak kapal untuk memulai aksi protesnya. Perlawanan tersebut baru akan dihentikan apabila tuntutan mereka disetujui pemerintah. 
Meskipun rencana pengambil-alihan kapal perang dirahasiakan, beberapa perwira Belanda yang masih bertugas didalam kapal mulai menyadari rencana tersebut.  Agaknya komandan kapal perang “De Zeven provincien” Letkol Eikenboom yang sedang menghadiri resepsi yang diselenggarakan oleh Gubernur Militer wilayah Aceh tidak cukup hanya percaya kepada laporan perwira Belanda. Resepsi militer di Olele merupakan pertemuan antara Angkatan darat dengan pasukan marine Belanda yang sedang bertugas dalam pelayaran di kapal perang “De Zeven Provincien”.
Ketika kapal perang “ De Zeven Provincien” melintas di Padang pada tanggal 9 Februari 1933, Belanda sudah mengkhawatirkan akan kemungkinan penembakan pelabuhan Padang oleh kapal perang.  Demikian pula ketika kapal memasuki Selat Sunda pada tanggal 10 Februari 1933, Belanda telah bersiaga dengan kapal selam untuk mengepung kapal perang “ De Zeven Provincien” agar tidak melintasi Batavia.
 Agar para pemberontak segera menyerahkan diri, pesawat udara Dormier milik Angkatan Udara Hindia Belanda diterbangkan ke Selat Sunda. Pesawat udara tersebut mengemban misi mengirimkan isyarat-isyarat melalui komunikasi radio kepada awak kapal dan memperingatkan adanya ancaman bom jika awak kapal “De Zeven Provincien” tidak menghentikan kapal. Peringatan yang diberikan komandan pesawat Dormier awalnya hanya dianggap sebagai ancaman belaka, awak kapal tetap bersikeras melanjutkan perjalanannya ke Surabaya. Tetapi pada kenyataanya komandan pesawat Dormier benar-benar membuktikan ancamannya dengan menjatuhkan bom terhadap kapal perang “De Zeven Provincien” pada tanggal 10 Februari 1933.
Sekitar enam belas awak kapal Indonesia gugur dalam pengeboman tersebut. Mereka yang gugur dimakamkan tanpa upacara di sebuah pulau kecil di dekat Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Sedangkan para pelaut Belanda yang gugur dimakamkan di Pulau Bidadari. Awak kapal Indonesia yang selamat dari insiden tersebut antara lain Kawilarang, seorang kelasi yang mengambil bagian kepemimpinan dalam pemberontakan tersebut. Oleh pengadilan Hindia Belanda Kawilarang dijatuhi hukuman enam belas tahun penjara.
Eksistensi Kaum Pergerakan Nasional
            Dua hari setelah pemberontakan kapal perang “ De Zeven Provincies” suatu pawai kesetiaan dilangsungkan di depan istana Gubernur Jenderal di Batavia. Meskipun mendapat berbagai macam kritikan, de Jonge tetap akan mempertahankan kebijakan dalam pemerintahannya dan apa yang telah di capai selama tiga ratus tahun ini.
            Sebenarnya de Jonge risau atas kejadian-kejadian di Hindia Belanda pada masa periode pemerintahannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi memperlihatkan bahwa de Jonge tidak terlalu memiliki kendali atas Hindia Belanda. Kebijakan penurunan gaji, pengurangan dan pemecatan pegawai telah mengundang protes,  tidak hanya dari penduduk pribumi namun juga dari orang-orang Eropa. Pasca pemberontakan kapal perang tersebut, de Jonge mengambil tindakan lebih keras terhadap kaum nasionalis radikal
            Jaksa Agung, Verheyen dalam laporannya terhadap Gubernur Jenderal pada tanggal 10 Februari 1933 dengan bukti yang terbatas menjelaskan keterlibatan PNI Baru Cabang Surabaya dalam insiden kapal perang “ De Zeven Provincien”. Pihak kolonial segera mengalamatkan aksi radikal kepada pemimpin Partindo, PNI Baru. Verheyen menyatakan bahwa PNI Baru merupakan partai paling berbahaya diantara partai-partai nasional lain karena pemimpinnya yang revolusioner.
Verheyen memerintahkan masing-masing kepada kepala pemerintah daerah untuk menyelidiki lebih teliti rapat-rapat politik kaum nasionalis dan melarang agitasi ekstrim. Polisi dan pemerintah daerah dengan terang-terangan meningkatkan campur tangannya terhadap rapat-rapat umum PNI Baru dan Partindo. Para pembicara dalam rapat dilarang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan depresi ekonomi, imperialisme, dan ide-ide politik kaum nasionalis.
Tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap sebagai kaum radikal tanpa diproses dalam pengadilan diasingkan, diantaranya Soekarno, Hatta, Sjahrir dan pemimpin nasionalis lainnya. Gerakan nasional Indonesia berada dibawah kebijakan represif de Jonge,
   With the arrest and exile of Soekarno, Hatta, Sjahrir and other dynamic nationalist leaders and with the continuance of a strongly repressive policy under Governor-General de Jonge, the Indonesian nationalist movement was forced in to much shallower political channels than it previously had reached.[7]
Ancaman yang terus menerus terhadap pergerakan nasional dan terhadap tokoh tokoh beserta pengurus partai membuat pergerakan nasional tahun 1930-an harus bersikap lunak terhadap pemerintah kolonial. [8]
Secara tidak langsung peristiwa pemberontakan kapal perang “De Zeven Provincien” mempengaruhi jalannya politik di negeri Belanda tahun 1933-1942. Depresi ekonomi, kebijaksanaan politik reaksioner dan suasana radikal dari kaum nasionalis yang telah menyebabkan terjadinya pemberontakan menjadi suatu peringatan bagi negara induk untuk kemudian memperkuat kebijakan pertahanan di negeri jajahan. Meskipun pada kenyataannya, kebijakan tersebut banyak dikecam karena membutuhkan anggaran yang besar.  Sebab Negeri Belanda sendiri masih membutuhkan waktu  untuk menjaga kestabilan ekonomi akibat depresi ekonomi tahun 1930.

Sumber:
Abeyasekere, Susan. 1976. One Hand Clapping: Indonesian Nationalist and the Dutch 1939-1942. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies.
Kahin, George Mc Turnan. 1952. Nationalisme & Revolution in Indonesia. USA : Cornell University.
Sartono Kartodirdjo. 1977. Sejarah nasional Indonesia Jilid V. Jakarta:Balai Pustaka.
Suyatno Kartodirjo. 1988. “Pemberontakan Anak Kapal “Zeven Provincien” Tahun 1933”, Prisma No 7 Tahun 1988.
Vedi R. Hadizt. 1994. Gerakan Buruh Dalam Sejarah Politik Indonesia. Prisma No 10 tahun 1994.
Wilson.1944. “Kaum Pergerakan Di Hindia Belanda 1930-an: Reaksi Terhadap Fasisme”. Prisma No 10 Tahun 1994.




[1] Suyatno Kartodirdjo, 1988, “ Pemberontakan Anak Buah Kapal “ Zeven Provincien” tahun 1933”, Prisma edisi No 7 Tahun XVII, hlm. 4
[2] Ibid.
[3] Wilson, 1995,  “ Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930-an”, Prisma edisi No 10 tahun 1994, hlm. 42
[4] Abeyasekere, Susan, 1976, One Hand Clapping: Indonesian Nationalist and the Dutch 1939-1942, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, hlm. 1
[5]  Sartono Kartodirdjo, 1977, Sejarah nasional Indonesia Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka,  hlm. 90
[6]Vedi R. Hadiz, 1994, “Gerakan Buruh dalam Sejarah Politik Indonesia”, Prisma edisi No 10 Tahun 1994, hlm. 77
[7]Kahin, George McTurnan. 1952, Nationalism and Revolution Indonesia , London :Cornell University Press, hlm. 94
[8]Onghokham, 1989, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: PT Gramedia, hlm 54

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya dan ayah saya beserta rekan2 ayah yang pernah ikut pemberontahan kapal 7 pada thn.1977 s/d 1980, kami setiap Tgl.10 Ferbuari selalu mengadakan ziarah di TPM Kalibata di makam para pejuang Kapal 7. pada saat pertama kali ikut ziarah saya melihat ada sekitar 11 Org pelaku pejuang yg turut hadir dan yg terakir pd thn.1980. hanya tinggal 5 org.
setelah thn2 berikutnya saya tidak pernah ikut lagi ziarah pada tgl.10 Feb..Menurut ayah beliau bertugas di kamar mesin dikapal Dezeven Provincie. Mereka itu mendapatkan Pejuang Perintis Kemerdekaan.

susuultra023 mengatakan...

sabung ayam online

Posting Komentar

ww
ss