Pendahuluan
Pers memiliki
posisi penting pada masa pergerakan nasional. Seiring berjalannya roda
modernisasi dan menggeloranya ide nasionalisme, kebutuhan akan informasi
meningkatkan penyebaran komunikasi massa melalui media cetak. Proses industrialisasi dan modernisasi
dibidang ekonomi dan pendidikan telah melahirkan kelompok sosial baru dengan
tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal tersebut segera diikuti oleh
meningkatnya tingkat kemampuan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan.
Di era pergerakan nasional, informasi merupakan
kebutuhan yang penting. Keberadaan pers dianggap sebagai salah satu syarat
terbentuknya masyarakat modern. Hal tersebut buktikan oleh pemanfaatan surat
kabar atau majalah oleh partai atau organisasi politik lainya. Sebagai contoh, dimanfaatkannya surat kabar Oetoesan Hindia
oleh organisasi Sarekat Islam sebagai corong
politik, in 1918 he joined to the youth movement Jong
Java, to write for the SI newspaper Oetoesan Hindia (Indies Mesenger).[1]
Secara kultural,
orang Cina yang bermukim di Indonesia dibedakan menjadi dua, Cina peranakan dan
Cina totok. Perbedaan ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kehidupan sosial termasuk
dalam bidang pendidikan.[2] Namun tidak dalam industri pers, tokoh-tokoh
baik dari golongan Cina totok maupun Cina peranakan sama-sama berperan aktif
dalam dunia jurnalistik.
Pentingnya pers
sebagai salah satu infrastruktur masyarakat modern menjadikan industri pers dan
percetakan muncul sebagai bidang ekonomi baru yang potensial. Dengan kekuatan
ekonomi yang dimiliki, orang Cina kemudian berhasil mengakumulasikan keuntungan
dan modalnya sehingga mereka pun secara lambat namun pasti bergerak menguasai
perekonomian skala menengah, seperti yang tergambar dalam industri pers.
Sejarah pers di
Indonesia sendiri menampilkan peran Indo-Eropa, orang-orang Cina baik Cina
totok maupun Cina peranakan dan sedikit peran pribumi sebagai aktor utama. Surat
kabar Eropa kebanyakan berisi tulisan-tulisan mengenai tanah jajahan dan
keterkaitannya dengan Jepang.[3]
Dalam pers Cina, selain berisi ide-ide pemikiran nasionalisme Tionghoa, dan
tulisan mengenai pergerakan nasionalisme Indonesia, sekitar tahun 1930-an surat
kabar Cina juga didominasi oleh tulisan-tulisan yang bernadakan anti-Jepang
Hubungan pers
Cina dan pergerakan nasional serta ide nasionalisme dalam historiografi yang
dihasilkan sering ditampilkan dalam gambaran yang mekanis. Perananan surat
kabar atau pers tertentu hanya dilihat dari keberpihakan politik, bahasa yang
digunakan dan aliran politik yang dianut pers tersebut. Orang-orang Cina dalam
pers mungkin tidak terlibat langsung dalam pergerakan nasional atau pers
nasional, namun keberadaanya yang ditunjang kekuatan ekonomi memungkinkan untuk
mempengaruhi eksistensi kaum pergerakan di Indonesia.
Industri
Pers Cina Peranakan
Surat-surat
kabar Cina Indonesia baru muncul pada abad ke-20. Surat-surat kabar tersebut
dikelompokan menjadi pers berbahasa Melayu dan berbahasa Tionghoa (Cina). Kelompok
yang pertama dikelola oleh orang-orang Cina peranakan, sedangkan kelompok kedua
dikelola oleh orang-orang Cina totok.
Pers Cina
peranakan sendiri dapat dikatakan baru benar-benar muncul setelah masuknya
pengaruh gerakan Pan-Cina di Jawa. Pengaruh tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk suatu renaissance budaya dan menyadarkan
orang-orang Cina tentang pentingnya kelompok. Sejak saat itu penerbit-penerbit
utama Cina peranakan mulai menerbitkan sejumlah surat kabar. Beberapa surat
kabar Cina peranakan pada awalnya masih menggunakan orang-orang Belanda sebagai
redaktur karena dianggap memberikan kekebalan yang lebih besar terhadap polisi.
Surat kabar Cina peranakan pertama, Li Po di terbitkan di Sukabumi, Jawa Barat. Dalam perkembangannya,
tahun 1920-an orientasi politik dalam pers Cina mulai berkembang. Surat-surat
kabar besar seperti Siang Po, Sin Po, dan Sin
Tit Po lahir mewakili tiga aliran
politik yang berbeda. Pers yang menerima ideologi nasionalisme secara penuh,
pers yang bersifat netral dan pers yang lebih mendukung pemerintah kolonial
Belanda.
Peta kehidupan
jurnalistik di Jawa terpaku jelas dalam kekuatan ekonomi masing-masing
golongan. Dengan didukung oleh kemampuan ekonomi yang memadai, orang-orang
Belanda mampu menghasilkan pers yang bermutu dan modern baik dari segi kualitas
redaksional, pemasaran maupun teknik percetakan. Berlawanan dengan kondisi pers
Belanda, pers pribumi yang lahir kemudian dilihat dari segi mutunya dianggap
masih rendah. Pers pribumi tidak dtunjang dengan dewan redaski yang berwenang,
administrasi yang baik, atau tenaga-tenaga yang terdidik.
Berbeda dengan
kedua kelompok pers yang perkembangannya selalu memantulkan nuansa politik,
pers Cina termasuk didalamnya pers Cina peranakan muncul dengan orientasi yang berbeda. Pers
Cina murni lahir sebagai aktivitas bisnis dengan tujuan utama mencari
keuntungan ekonomi. Walaupun terkadang harus bergesekan dengan permasalahan
politik, pers Cina relatif lebih bebas dibandingkan dengan dua kelompok pers
lainnya.
Dukungan
permodalan yang kuat menjadikan pers Cina mempu menampilkan wajah penerbitan
dengan mutu yang tidak kalah tinggi dibandingkan dengan pers orang-orang
Belanda. Bahkan pers Cina memiliki kelebihan lain yang membuatnya berkembang
lebih luas. Kelebihan tersebut diantaranya, Bahasa Melayu yang digunakan
sehingga membuat pers Cina lebih banyak menyentuh masyarakat pribumi luas.
Keuntungan lain
yang dimiliki pers Cina adalah mereka memiliki sendiri mesin-mesin percetakan, dukungan
finansial yang kuat dan tenaga ahli yang mampu mereka bayar. Berbekal kemampuan
tersebut, pers Cina mampu menghasilkan terbitan-terbitan yang bermutu. Kualitas
pers Cina tampak dalam kertas yang digunakan, bentuk grafis, warna tinta yang
digunakan dan tentu saja kandungan berita yang disajikan.
Pers Cina cenderung
tidak mengalami kesulitan keuangan. Disamping mereka memiliki pasaran yang
jelas, pers Cina didukung oleh
infrastruktur yang memadai. Untuk keuangan, pers Cina didukung oleh perbankan
dan berbagai pemasukan tetap dari langganan dan iklan. Bagi pers Cina yang
mengalami kesulitan keuangan mereka dapat berafiliasi dengan kelompok usaha
besar, seperti yang pernah dilakukan oleh surat kabar Keng Po terhadap perusahaan Oi
Tiong Ham Concern ketika mengalami kesulitan keuangan.
Di bidang
periklanan, pers Cina mendapatkan suplai dan kepercayaan dari
perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa periklanan untuk mempromosikan
produk yang dihasilkan. Sementara itu dari aspek politik boleh dikatakan pers
Cina tidak pernah ada yang terkena permasalahan hukum (delik pers) sebagai
akibat dari dimuatnya hatzai artikelen
(artikel yang menebarkan kebencian). Pers Cina dipandang netral sehingga
dianggap tidak berbahaya. Oleh karenanya penguasa Belanda lebih bersikap
lunak terhadap pers Cina.
Pandangan Van
Hestert, kebanyakan surat kabar yang terbit di Hindia Belanda dipimpin oleh
seorang direktur yang memiliki tugas rangkap. Selain perusahaan penerbitan,
seorang direktur biasanya merangkap tugas sebagai manajer bisnis dan pemasaran,
direktur keuangan, pemimpin redaksi, atau bahkan teknisi. Hal ini menunjukan
bahwa penyelenggaraan pers pada waktu itu belum memiliki sistem manajemen yang
baik, dimana pembagian kerja secara profesional belum dapat tercapai.
Seorang direktur
perusahaan penerbitan pers atau kepala editor yang merupakan seorang pemimpin
intelektual atau politisi memiliki pengaruh luas terhadap isi dan pandangan
politik pers yang diterbitkan.
Surat kabar Sin Po dipimpin
oleh Kwee Hing Tjiat dan Tjo Bou San dikenal sebagai intelektual dan politisi yang cukup
berpengaruh sehingga Sin Po muncul
sebagai motor penggerak aliran politik yang cukup besar pengaruhnya dikalangan
Cina peranakan.[4]
Pers
Cina Peranakan Dan Nasionalisme Indonesia
Pergerakan
nasional muncul sebagai ide perlawanan terhadap politik kolonial Belanda.
Keberadaan pers menjadi pendukung laju pergerakan nasional di Indonesia. Kehidupannya
terus berkembang meskipun keberadaannya terus menerus diancam kebijakan pembredalan oleh pemerintah kolonial, all branches of writing expanded rapidly in
Indonesia. In 1918 there were already about 40 newspapers published, mostly in
Indonesia; by 1925 there were about 200; by 1938 there were over 400 dailies,
weeklies and monthlies.[5]
Ide pergerakan nasional muncul sebagai
kekuatan historis masyarakat pribumi yang juga berpengaruh terhadap pers Cina
peranakan. Aspek yang paling mudah dipertimbangkan dalam melihat hubungan pers
Cina dengan nasionalisme Indonesia adalah aspek politik. Pers Cina peranakan
dipergunakan oleh tokoh pergerakan untuk menyebarkan ide-ide perjuangan
pergerakannya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan keamanan dan efektivitas
pers Cina.
Pers Cina dianggap
relatif aman karena posisinya yang netral, sedangkan pers pribumi lebih mudah
terdeteksi dan akhirnya dibredel dan pemimpin atau penyumbang pemikirannya
ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah Belanda.[6]
Pandangan politis yang ditampilkan
dalam pers Cina umumnya menunjukan pandangan para pemilik, staf redaksi dan
pembaca langganan yang mendukung pers tersebut. Secara garis besar spektrum
politis pers Cina terbagi atas tiga kelompok besar.
Kelompok pertama Pers Cina tampil sebagai wakil pers yang
menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Kelompok ini tidak diragukan
lagi peranannya dalam menyebarkan ide nasionalisme Indonesia, terutama dalam
masyarakat Cina peranakan. Kelompok pertama ini diwakili oleh surat kabar Sin Tit Po.
Kelompok kedua dan
ketiga, memilih netral dan tetap pada pendiriannya. Kelompok kedua memilih
nasionalisme Cina daratan sebagai orientasi politik. Sementara kelompok ketiga
bersikap konservatif mempertahankan identitas etniknya dan memilih berorientasi
politik dengan lebih mendukung pemerintah
kolonial Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh surat kabar Sin Po yang menganut aliran nasionalisme Tionghoa.[7]
Kelompok ketiga diwakili oleh kabar Siang
Po dan Pelita Tionghoa.
Meskipun Sin Po yang mewakili kelompok kedua
berhaluan nasionalisme Tionghoa tidak berarti mereka mengabaikan perjuangan
nasional Indonesia. Sin Po senantiasa
menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Nasionalis Indonesia dan nasionalis Tionghoa pada masa itu belum memikirkan adanya
peluang pertentangan kedua nasionalisme tersebut setelah Indonesia merdeka. Yang
dipikirkan hanyalah bahwa mereka memiliki musuh yang sama, pemerintah kolonial
Belanda.[8]
Soekarno mengatakan pada Tjoe bahwa ia
lebih menghargai orang Tionghoa yang menyokong pergerakan Indonesia tanpa
menghiraukan bahaya, dibandingkan dengan mereka yang mau menjadi orang
Indonesia akan tetapi semata-mata karena ingin mendapat keuntungan.[9]
Hubungan antara
pers Cina dan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi utama pers,
yaitu sebagai media komunikasi massa. Pers
Cina memberikan informasi yang jernih
dan opini-opini dari tokoh terkemuka sehingga pemikirannya dapat tersebar
secara luas dan dapat menjadi pegangan masyarakat dalam mengidentifikasi
masalah sosial yang ada.
Pers dalam hal
ini menjadi barometer perasaan kolektif dan menjadi wakil dari opini publik. Apa
yang dirasakan masyarakat Cina peranakan yang tercermin melalui surat kabar dan
terbitan lainnya secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia
akan identitas bangsanya.
Semua hal yang yang
dikatakan dan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Cina terkemuka seperti Tjou Bou San, Kwee Hing Tjiat, Kwee Tek Hoay, Liem Koen Hian, Kwee Kek
Beng memberikan manfaat secara tidak langsung bagi bangsa Indonesia dalam
memupuk kesadaran dan mendorong penemuan identitas dan martabat masyarakat
Indonesia sebagai sebuah bangsa. [10]
Tulisan-tulisan dalam pers Cina
peranakan yang mendapat pengaruh dari gerakan nasioanalisme Tionghoa juga
memiliki imbas terhadap bagian-bagian dari reaksi bangsa Indonesia terhadap
pemerintah kolonial, also of importance
was the strong reaction generated by Indonesian contact with the hauteur and
political agressiveness manifested by Indies Chinese as a result of the
contagion of the ideas og Chinese Nationalism.[11]
Pada masa
pergerakan nasional, pers nasional (pers pribumi) sering mengalami kesulitan yang
disebabkan oleh pemerintah kolonial. Kehidupan pers terus menerus diancam
kebijakan pembredelan dan delik pers. Seperti yang pernah dialami surat kabar
pribumi Doenia Bergerak, tiga buah
artikel dalam Doenia Bergerak yang
bertemakan ketidakbenaran orde kolonial terkena persdelict (delik pers), dan
pemimpinnya Mas Marco Kartodikromo harus menjalani hukuman penjara di
kota Semarang selama 8 bulan. [12] Dalam
keadaan politik yang mengancam, keberadaan surat kabar Cina yang relatif aman menjadi
salah satu sumber dan media penting dalam mengetahui dan mendorong laju
pergerakan nasional.
Beberapa pers pribumi baik itu surat kabar
maupun majalah pada awal perkembangannya menggunakan berbagai fasilitas yang
dimiliki orang-orang Cina dalam perusahaan penerbitannya, seperti percetakan,
permodalan, dan tenaga ahli editorial. Majalah Darmo Kondo milik Budi Utomo yang terbit di Surakarta pada awalnya
dimiliki dan dicetak oleh Tan Tjoe Kwan,
sedangkan redaksinya dipimpin oleh Tjhie
Siang Ling yang mahir dalam kasustraan Jawa. [13]Beberapa
surat kabar lain yang juga bekerja sama dengan modal Cina antara lain surat
kabar Kebangoenan yang diterbitkan di
Jakarta dicetak dipercetakan Siang Po dan
memuat artikel-artikel bersamaan dengan Siang
Po sekurang-kurangnya pada periode awal.[14]
Bentuk
kerja sama lainnya adalah dipekerjakannya wartawan-wartawan Indonesia
dibeberapa surat kabar Cina peranakan. Orang-orang seperti Saeroen, W.R
Soepratman, D. Koesoemaningrat, Bintarti, Sudarjo Tjokrosisworo, dan J.D
Syaranamual merupakan wartawan-wartawan Indonesia yang bekerja diberbagai surat
kabar Cina peranakan. Disamping memperoleh imbalan ekonomis dari pekerjaannya,
mereka juga mempelajari teknik pengelolaan surat kabar Cina yang kemudian
mereka terapkan pada pers nasional atau pers pribumi.
Kemampuan
finansial tinggi pers Cina mampu membayar narasumber dan staf ahli yang tinggal
di luar negeri. Perolehan berita-berita luar negeri baik menyangkut informasi
mancanegara maupun tentang Indonesia sendiri kemudian dikutip kembali oleh
surat kabar pribumi. Kerja sama seperti itu merupakan hal yang luar biasa pada
masa itu mengingat biaya penggunaan jasa telekomunikasi sangat tinggi sehingga
hanya surat kabar tertentu yang mampu menggunakan jasa informasi tersebut.
Kesimpulan
Pers
Cina dengan didukung oleh kelengkapan produksi yang memadai muncul sebagai
kekuatan penting dalam panggung kehidupan jurnalistik di Indonesia. Pers Cina
memiliki perusahaan percetakan sendiri,modal dan dukungan finansial yang kuat.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki tersebut, pers Cina mampu memberikan
warna tersendiri bagi dinamika perekembangan jurnalisme di Indonesia.
Keberadaan pers
Cina tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat dan sejarah pers
Indonesia. Pertumbuhan pers Cina yang bersamaan dengan bangkitnya semangat
nasionalisme Indonesia memiliki titik persinggungan dalam beberapa tempat.
Keberadaan pers Cina memberikan nilai positif bagi perkembangan nasionalisme di
Indonesia. Pers Cina banyak berperan sebagai partner bagi tokoh pergerakan dalam menyebarkan ide-ide, pemikiran
serta informasi.
Hubungan pers
Cina dan gerakan nasionalisme Indonesia setidaknya dapat dilacak dalam tiga
aspek, yakni relasi sosial-politik, relasi psiko kultural dan relasi ekonomis. Relasi
sosial-politik terutama dilihat dari peran Pers Cina dalam hubungannya dengan
tokoh pergerakan. Pers Cina berperan sebagai mitra perjuangan, yakni sebagai
media alternatif bagi pergerakan nasional.
Hubungan
psiko-kultural diperlihatkan dengan fungsi pers sebagai media komunikasi massa.
Pers Cina melalui pemberitaannya tentang berbagai peristiwa di Indonesia secara
tidak langsung menyadarkan masyarakat Indonesia akan identitas sebagai bangsa Dari
segi ekonomi, pers Cina dengan dukungan permodalan yang memadai membantu
terpeliharanya eksistensi beberapa pers pribumi.
[1] Ricklefs, M.C, (2008) , A History of Modern Indonesia c 1300 to the Present, New York: Macmillan Press, p. 173.
[2] Lohanda,
Mona, (1994), The
Capitan og Batavia 1837-1942 A History of Chinese Establishment in Colonial
History, Jakarta: Djambatan, p. 137.
[3] Scholten,
Elsbeth Locher, (1986), The Indonesian
Revolution, Utrecht : RIJKS Universiteit Utrecht, p.10.
[4] Abdul Wakhid, (1999) , “
Modal Cina dan Nasionalisme Indonesia : Industri Pers Cina Pada Masa Pergerakan
Nasional”, Lembaran Sejarah Volume 2
No 1 tahun 1999, Fak. Ilmu Budaya dan
Program Studi Sejarah Program Pasca Sarjana UGM, p. 103
[7] Leo Suryadinata, (1991),
“Kwee Hing Tjiat: Nasionalisme Tionghoa,Tokoh Asimilasi”, Prisma No 7 Tahun 1991, Jakarta:
LP3ES, p. 74.
[8]
Leo
Suryadinata, (1991), “Tjoe Bou San :
Nasionalisme Tionghoa yang Mati Muda”, Prisma
No 5 Tahun 1991, Jakarta:LP3ES, p. 82.
[9] Leo suryadinata, op.cit., p. 82.
[11] Kahin,
George Mc Turnan, (1952) , Nationalisme & Revolution in Indonesia,
USA : Cornell University, p. 66.
[12] Razif,
(1991) , “Marco Kartodikromo Perintis Jurnalis Pemegang Prinsip Pergerakan”, Prisma No.9 Tahun 1991, Jakarta: LP3ES, p. 81.
[13] Abdurrachman
Surjomihardjo, (2002) , Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: PN Kompas, p. 65-70.
[14] Leo
Suryadinata, (1983), “ Liem Koen Hian
Peranakan yang Mencari Identitas”, Prisma
No 3 tahun 1983, Jakarta: LP3ES, p. 80.