Pendahuluan
Perempuan, sosok yang kerap
melahirkan kontroversi. Perjalanannya dalam ruang publik adalah sebuah tragedi.
Ia dicaci tapi dipuja, dinistakan tapi tetap didekati. Perempuan adalah sebuah
kenisbian dalam sejarah perjalanan umat manusia,. Keberadaannya penentu keberlangsungan
generasi, bagaimana sebuah bangsa pada akhirnya dapat diturunkan dan berkembang
Tapi, mengapa keberadaan wanita
sering dipandang sebelah mata? Dinomorduakan, hanya dianggap sebagai pelengkap,
bahkan dipinggirkan. Bukankah, ia adalah penyejuk hati, sebagaimana diucapkan
oleh Umar bin Khatab. Tempat hati tertambat seperti uraian Hamka. Bahkan sejarahwan
Anhar Gonggong menyatakan, perempuan dengan kekuatannya mampu merubah
perjalanan cinta dan sejarah.
Ya, tentang perempuan. Keberadaanya
dalam ruang publik sering tersisih oleh budaya patriarki, budaya yang seolah
sengaja berkembang untuk meminggirkan perempuan. Sejak masa kolonial, kultur
tanah air khususnya di Jawa secara terang-terangan telah meminggirkan peran
peremuan. Tidak cukup hanya terkungkung oleh kekuasaan kolonial, seorang
perempuan Jawa masih harus menerima tradisi “pingitan” yang merebut kebebasan
mereka
Lantas apakah segala keterbatasan
itu mengantar perempuan untuk digerus zaman? Menjadi sosok yang selalu
dilupakan perannya. Tidak. Kenyataan membuktikan bahwa melalui posisinya
sebagai sosok yang selalu dibuat tidak berdaya, perempuan justru telah mengukir
sejarahnya sendiri.
Mengkritisi Pemerintah ala Kartini
Berbicara tradisi feodal berikut
“tetek bengeknya”, tercermin jelas dalam
tuturan cerita-cerita Kartini. Bagaimana manusia yang secara kodrati sama di
mata Tuhan, justru dibeda-bedakan oleh sesama makhluknya sendiri. Kartini hidup
menentang segala tradisi feodalisme yang menyengsarakan bangsanya.
Kartini tumbuh dalam lingkungan
kebangsawanan, lahir tanggal 21 April 1879 dari seorang bupati Jepara R.M.A
Sosroningrat dan seorang selir bernama Ngasirah. Beberapa tahun setelah
kelahirannya, Kartini menyusul kakak-kakaknya memasuki sekolah. Tahun 1885 pada
usia enam tahun, Kartini dimasukan di sekolah Europese Legere School(Sekolah
Rendah Belanda). Melalui pendidikan yang singkat itulah, Kartini dapat mengecap
pengetahuan Barat dan bergaul dengan anak-anak Belanda secara bebas. Pergaulan
yang disadari atau tidak, pada akhirnya akan mengantarkan Kartini mengkritisi
tradisi feodal yang mengungkung bangsanya.
Dalam pertemuan antara dunia
Barat dan Dunia Pribumi, bahasa Belanda adalah alat penghubung yang penting.
Disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer, Kartini menguasai alat ini sama
sempurnanya dengan orang-orang Belanda. Dengan alat ini ia dapat memasuki dunia
Barat dengan mudah, melakukan kritik dan penolakan terhadap tingkah orang-orang
Belanda dan dapat menyampaikan keinginan-keinginan rakyatnya dalam percaturan
politik. Sekilas Kartini nampak lebih mengagungkan bahasa Belanda sebagai alat
perjuangan. Sikapnya ini tentu saja dapat menimbulkan salah paham, bahwa dengan
ini seakan-akan ia telah menolak Bahasa Melayu.
Kartini tidak pernah menolak
Bahasa Melayu, ia berpendapat bahwa Bahasa Belanda lebih efektif sebagai alat
perjuangan di masanya. Keengganannya terhadap bahasa Melayu khususnya Melayu
babu atau Melayu Pasar. mencerminkan suasana politik saat itu. Bahasa Melayu
dipergunakan Belanda terhadap pribumi tidak lain sebagai menifestasi
penghinaan, bahwa pribumi berada pada tingkat sangat bawah dibandingkan Belanda.
Melayu babu tak ubahnya seperti bahasa Jawa paling kasar yang dipergunakan
raja-raja Jawa pada hambanya yang paling hina menurut susunan kasta[1].
Kartini menolak perbudakan, meski
perbudakan itu hanya tersirat lewat bahasa. Hal ini menegaskan betapa detailnya
ia menafsirkan perbudakan dan penjajahan. Jika perempuan yang hidup dalam
kunkungan adat saja begitu jeli, bagaimana mungkin bangsa ini sangat sederhana
menerjemahkan kemerdekaan? Bangsa ini seakan sudah terpuaskan dengan
kemerdekaan simbolis, merdeka dibawah cengkeraman tangan-tangan asing. Ingatan kita tentu masih segar dengan
pemberitaan PT Freeport
yang memperpanjang kontraknya hingga tahun 2041. Dengan perpanjangan kontrak
tersebut, berarti perusahaan tambah asal AS itu akan mengeruk bumi kita selama
74 tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa pemerintah kita begitu mudah takluk? Mengapa pemerintah kita tidak
memiliki secuil saja keberanian Kartini untuk menentang kekuasaan asing.
Kartini menginginkan kesetaraan
dalam segala hal, termasuk dalam bahasa sekalipun. Sisi humanitarianisme
(kemanusiaan) dan konsep persamaan ini dengan sendirinya telah mendarah daging
dalam diri Kartini. Kartini mengungkapkan keinginanya agar dipandang sebagai
individu yang sama dengan orang lain. Hal ini tercermin dalam surat Jepara
tanggal 25 Mei 1899”…Ya, namaku hanya
Kartini. Sebab itu, panggil aku
Kartini saja, tanpa gelar, tanpa sebutan.” Meskipun lahir dan dibesarkan
dalam lingkungan bangsawan, Kartini tidak mau dianggap jauh diatas orang lain.
Ia adalah sosok demokratis yang rela melepas gelar, tanda panggilan kebesaran,
dan status kebangsawannnya. Hal ini sungguh luar biasa, mengingat pada masa itu
gelar adalah penanda status seseorang dalam hierarki feodalisme.
Kartini rela menanggalan status
“raden ajeng” dan lepas dari gelar “raden ayu”. Meninggalkan keduanya sama
halnya dengaan melepas jaminan kesejahteraan. Kartini menolak feodalisme,
Apalah artinya memiliki darah bangsawan, dihormati, hidup mewah, dan lain
sebagainya jika rakyat masih harus menjadi budak bangsa asing.
Kartini adalah figure pemimpin
ideal jika saja ia memiliki kesempatan. Konsep dan pemikirannya adalah tempat
bercermin bagi tokoh-tokoh politik masa kini. Adalah sebuah ironi jika
pemimpin-pemimpin masa kini malah membangkitkan neo-feodalisme. Mereka yang duduk
dibangku politik, justru me-raden ayu-kan diri sendiri. Mereka menjadi pemimpin
yang gila hormat, berfoya-foya dengan uang rakyat, lantas mengangkat dirinya menduduki
kasta tertinggi sehingga harus diagungkan,
Kartini di Akhir Abad 20
Kartini ditetaapkan sebagai
pahlawan nasional dengan SK Presiden RI No 108,2/5/1964. Tanggal lahirnya pun
ditetapkan sebagai hari nasional. Setiap tanggal 21 April sekolah-sekolah
menjadi lebih semarak dengan murid-murid yang mengenakan busana tradisional
Jawa, berbagai lomba keputrian, dan acara-acara yang lain. Namun sayangnya
kemeriahan peringatan Hari Kartini tidak selamanya merupakan sebuah ekspresi
dan pendalaman atas nilai-nilai perjuangan Kartini. Bahkan memontum tersebut
sering diwarnai dengan ha-hal yang tidak selaras dean nilai-nilai perjuangan
Kartini seperti konteks kecantikan, fashion
show, dan acara-acara lain yang menonjolkan kemewahan.
Melalui surat-suratnya yang
terangkum dalam buku Door Duisternis tot Licht, seharusnya kita bisa melakukan
penghormata terhadap Kartini dengan lebih bijak. Menelaah
pemikiran-pemikirannya tidak hanya untuk kemajuan perempuan, tetapi juga
kemajuan bangsa ini secara lebih luas. Jika bangsa Indonesia yang memiliki
Kartini sebagai pejuang pembebas masih terbelanggu oleh keterbelakangan. Maka
pertanyaannya hanya satu, “sudah sejauh mana bangsa ini telah mengenal Kartini?”
0 komentar:
Posting Komentar