Oleh: Waidkha Yuliati
Pengantar
Keterlibatan
tentara dalam percaturan politik di Indonesia memiliki usia yang sama tuanya
dengan sejarah berdirinya negeri ini. Hubungan sipil-militer di Indonesia telah
terbentuk pada tahun-tahun pertama berdirinya republik. Sejak terbentuk hingga
menduduki posisinya yang cukup dominan pada masa Orde Baru, angkatan bersenjata
di Indonesia mengalami beberapa fase perkembangan. Pertama, peranan politik TNI mengusir penjajah masa revolusi; kedua, terus bertambahnya peranan
setelah mendapat pengakuan kedaulatan diakhir revolusi; ketiga, munculnya berbagai tafsiran mengenai bagaimana seharusnya
melaksanakan Dwifungsi serta kemungkinan perkembangannya dimasa mendatang.[1]
Tentara
Indonesia adalah tentara yang menciptakan dirinya sendiri. Mereka tidak
diciptakan oleh pemerintah maupun sebuah partai politik. Tentara Indonesia
terbentuk, mempersenjatai dan mengorganisasi diri hanya bermodalkan
tenaga-tenaga muda yang telah mendapat pelatihan militer dan senjata-senjata hasil
rampasan Jepang. Tindakan mengorganisasi secara mandiri ini dimengerti sebab
adanya keengganan pemerintah pusat membentuk barisan tentara.[2]
Kelahiran
tentara yang bukan dari rahim pemerintah atau suatu partai politik tertentu, seringkali
menimbulkan perbedaan kebijaksanaan pemerintah dan pimpinan tentara. Perjuangan
fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1948 menjadi cermin pertama
perbedaan yang menyolok antara kebijaksanaan pemerintah dan tentara. Pada saat pimpinan
pemerintah menyerah pada tentara kolonial Belanda yang kemudian menduduki
republik, Panglima Soedirman[3]
memerintah Kolonel A.H Nasution untuk mempersiapkan tentara menghadapi
kemungkinan serangan. A.H Nasution kemudian membentuk pemerintahan militer
sebagai pelaksanaan atas instruksi tersebut.
Nasution
menjadi pejabat militer sekaligus pejabat pemerintahan tertinggi untuk seluruh
Jawa. Dibawah Nasution ada empat panglima divisi yang juga menjabat gubernur
militer diwilayah masing-masing. Dibawah gubernur militer terdapat sejumlah STM
(Sub Teritorium Militer) yang berkedudukan pararel dengan residen sebagai
kepala karisidenan. Dibawah STM dibentuk KDM (Komando Distrik Militer)
setingkat dengan bupati yang mengepalai sebuah kabupaten. Satu tingkat dibawah
KDM yaitu kecamatan dipimpin oleh KODM (Komando Onder Distrik Militer).[4]
Pengalaman
perang gerilya, dengan tentara yang juga berfungsi sebagai pelaksana
pemerintahan pada gilirannya menjelma sebagai sebuah model untuk suatu hubungan
sipil-militer. Model tersebut membulatkan konsepsi para pemimpin tentara
mengenai bagaimana mereka harus berhubungan dengan golongan sipil. Pengalaman
angkatan bersenjata pada zaman revolusi menempatkan tentara Indonesia dalam
suatu posisi unik, yaitu posisi dimana angkatan bersenjata dapat leluasa
memainkan peran politik.
Fondasi
Doktrin Dwi Fungsi
Perang
kemerdekaan yang diakhiri dengan persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar)
membawa krisis yang berlarut-larut. Kompromi dalam perang kemerdekaan ini, membawa
pengaruh dalam bidang politik pada akhirnya. Sistem politik menurut UUD1945
secara formal disisihkan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS dan kemudian
UUDS 1950. Kedua konstitusi ini sarat akan prinsip-prinsip demokrasi liberal.
Ketidakstabilan
dalam pelaksanaan demokrasi liberal segera diikuti oleh instabilitas dan
kegelisahan diberbagai bidang. Serangkaian pergolakan dalam tubuh angkatan
bersenjata yang paling relevan adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952.
TNI-Angkatan Darat merasa bahwa diskusi dan mosi dikalangan parlemen merupakan
tindakan campur tangan terhadap urusan intern angkatan bersenjata. Maka dibawah
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), para senior TNI-AD mendesak Soekarno untuk
mengambil alih pimpinan negara dan membubarkan parlemen. Gerakan tersebut gagal
dengan penolakan Soekarno terhadap segala tuntutan Angkatan Darat.
Pergolakan
berupa penolakan angkatan bersenjata tidak berakhir dengan penolakan tersebut.
Akhir tahun 1955 dalam jabatan KSAD yang kedua, A.H Nasution menggariskan
kebijaksanaan sebagai usaha penyelesaian. Kebijakan ini oleh seorang guru besar
Universitas Indonesia, Profesor Djokosutono disebut “jalan tengah TNI”.
Nasution benggariskan bahwa kita tak
bisa menempatkan TNI sekedar sebagai ‘alat sipil’ saja sebagai demokrasi Barat,
juga tidak hanya sebagai “rezim militer”.[5]
Perumusan
pertama mengenai Dwifungsi ABRI sejak prakteknya dilakukan dibawah pimpinan
Panglima Jenderal Soedirman selama perang kemerdekaan. Pergolakan dalam tubuh
angkatan bersenjata, Oktober 1952 dan kebijakan “jalan tengah” A. H Nasution
merupakan tonggak sejarah penentuan posisi tersebut.
ABRI
dalam Percaturan Politik Orde Baru
ABRI memiliki
dua arah integrasi yaitu integrasi intra angkatan masing-masing dan integrasi
antar angkatan. Pada tahun 1966, segera setelah keluarnya Surat Perintah 11
Maret 1966, TNI-AD menyelenggarakan seminar oleh Seskoad Bandung. Sesuai dengan
Dwifungsi ABRI, hasil-hasil seminar mencakup bidang pertahanan-kemananan dan
bidang sosial-politik. Tetapi jika dilihat kuantitasnya, nampak bahwa
hasil-hasil dibidang sospol lebih banyak daripada bidang hankam.
Keluarnya
Keputusan Presiden (Keppres) No. 132/1967 disusul dengan Keppres No. 79/1967
dan kemudian dilengkapi dengan peraturan-peraturan lain mengharuskan ABRI melakukan
integrasi struktural. Peranan sosial politik diluar wewenang pertahanan dan
keamanan menurut keputusan tersebut menimbulkan berbagai opini dan kritik dari
masyarakat. Kritik yang ada, militer tidak lagi memberikan harapan kepada
kekuatan sosial politik lain untuk menjalankan kepemimpinan negara ini.[6]
Wewenang struktural operasional dalam
integrasi ABRI dipusatkan pada Menteri Hankam/Panglima Angkatan Bersenjata (Men
Hankam/Pangab). Men Hankam didampingi oleh Wakil Panglima Angkatan Bersenjata
(Wapangab). Garis komando turun kebawah kepada para panglima Komando wilayah
pertahanan (Kowilhan), dan terus kebawah kepada Komando pelaksana operasional
(Kolakpos) yakni komando-komando daerah angkatan (Kodam, Kodaeral, Kodam). Para
kepala staf angkatan Darat (AD, AL, dan AU) mempunyai wewenang pembinaan.
Pembinaan fungsi sospol diselenggarakan
oleh Dewan Kekaryaan Pusat (Wankarpus) yang ketuai oleh Men Hankam /Pangab
dengan Wapangab sebagai wakilnya. Yang menjadi anggota Dewan adalah para Kepala
Staf Angkatan dan Kapolri maupun Kepala
Staf Kekaryaan Hankam. Sekretaris dijabat oleh Asisten Sospol Hankam. Di
tingkat wilayah, pembinaan fungsi sospol diselengarakan oleh Dewan Kekaryaan
Wilayah (Wankarwil) yang diketuai oleh Panglima Kowilham dengan Wakil Panglima
sebagai wakil ketuanya. Anggota-anggota Dewan adalah para panglima komando daerah.
Sekretaris dijabat oleh seorang perwira tinggi yang khusus diangkat untuk
jabatan tersebut.
Pimpinan tertinggi pada masa Orde
Baru memang berada ditangan mandataris MPR. Departemen-departemen memang tidak
seluruhnya dijabat oleh ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam jabatan sosial
politik pemerintahan cukup besar. Bahkan sekitar tahun 1960-an ABRI mendapat
jatah 100 kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Hal ini dinilai sebagai awal
dari rentetan kompromi pelaksanaan dwifungsi.
Posisi ABRI yang menuai kritik salah
satunya adalah hubungan ABRI dengan partai-partai politik dan Golongan Karya
(Golkar) yang terlalu dekat. ABRI sebagai aparatur pemerintah yang independen, seharusnya berdiri diatas semua golongan dalam
masyarakat, terutama menjelang dan pada saat pemilu. [7]
Sebagaimana diuraikan diatas,
pelaksanaan Dwifungsi pada masa orde baru berbeda dengan Dwifungsi sebagaimana
dikonsepkan oleh Panglima Besar Soedirman dan Jenderal A.H Nasution. Meskipun
tidak banyak dari golongan sipil yang terlibat aksi protes, kritik secara
terbuka sempat dilancarkan mahasiswa melalui gerakan tahun 1978. Kritik tersebut
bukan terhadap dwifungsi melainkan
terhadap penyalahtafsiran Dwifungsi dan tuntutan pemurnian dwifungsi.
Kesimpulan
ABRI
hidup dalam suatu vacuum, pelaksanaan
fungsi sosial politik dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berubah. Pada
masa periode Orde Baru, ABRI memiliki peranan sosial politik yang cukup besar.
Doktrin dwifungsi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru
berbeda dengan dwifungsi sebagaimana dikonsepkan oleh Jenderal A.H Nasution dan
praktek dwifungsi pada masa perang kemerdekaan.
ABRI dalam percaturan politik Orde Baru
dekat dengan partai-partai politik, khususnya Golkar sebagaimana yang dikritik
oleh kalangan militer yang tidak sependapat. ABRI seharusnya cukup menduduki
jabatan MPR tidak perlu aktif dalam kegiatan politik sehari-hari. Namun
faktanya, sekitar tahun 1960-an ABRI menduduki 100 kursi jabatan DPR.
Sumber:
Nugroho Notosusanto. 1979.
“Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia”, Prisma. Jakarta:LP3ES.
Sumber
Pembanding:
Sutopo
Juwono. 1983. “ Peranan dan Batas Dwifungsi ABRI”, Prisma. Jakarta: LP3ES.
Salim
Said. 1987. “ Tentara Nasional Indonesia Dalam Politik Dulu, Sekarang, dan Masa
Datang”. Prisma. Jakarta: LP3ES.
[1] Salim
Said, 1987, “ Tentara Nasional Indonesia Dalam Politik Dulu, Sekarang, dan Masa
Datang”, Prisma, No 6 Tahun XVI, Jakarta: LP3ES. Hlm. 81.
[2] Terdapat
dua penjelasan terhadap kebijakan tersebut. Pertama, pemerintah hendak
meyakinkan sekutu, terutama Belanda bahwa Indonesia bukanlah negara boneka
ciptaan Jepang. Ini berarti bahwa, Soekarno bukan kolaborator Jepang. Kedua,
pemerintah yakin bahwa pemenang Perang Dunia II adalah negara-negara demokratis
yang mereka pastikan akan mendukung perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan.
Para pemuda berpendapat lain, bahwa kemerdekaan Indonesia masih harus
diperjuangakan untuk bertahan oleh karenanya mereka berinisiatif mempersenjatai
diri
[4] Nugroho
Notosusanto, 1979, “Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia”,
Prisma, Jakarta:LP3ES, hlm. 31.
[6] Sutopo Juwono, 1983, “
Peranan dan Batas Dwifungsi ABRI”, Prisma,
Jakarta: LP3ES, hlm 53.
2 komentar:
sabung ayam online
CASINOS GACOR: MOHEGAN RESORT & CASINO
CASINOS GACOR, USA. MOHEGAN 양주 출장샵 RESORT & CASINO HOTEL 당진 출장샵 - 12382 여주 출장마사지 MOHEGAN 울산광역 출장마사지 Hwy 34, United States of America, has 1 outdoor pool, spa, a 충청북도 출장마사지 restaurant, and
Posting Komentar