Oleh Waidkha Yuliati
“Ya, namaku hanya Kartini.
Sebab itu, panggil aku Kartini saja, tanpa gelar, tanpa sebutan.”
(Surat, Jepara 25 Mei 1899)
Demikianlah petikan dari surat-surat
Kartini yang terangkum dalam bukunya Door
Duisternis tot Licht, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Terbitan Habis Gelap Terbitlah Terang mengandung
berbagai gagasan untuk memajukan bangsanya yang masih bodoh dan miskin. Kartini
memang tidak bergabung atau mendirikan suatu organisasi pergerakan. Akan tetapi
pemikiran-pemikiran dan gagasan Kartini jauh melampaui segala hal. Sedikitnya,
Kartini telah mencetuskan gagasan tentang betapa pentingnya pendidikan bagi
wanita dan bangsanya. [1]
A. Biografi
Singkat Kartini
Kartini merupakan putri Bupati Jepara dilahirkan
pada tanggal 21 April 1879. Kartini sebenarnya bukanlah seorang anak Raden Ayu.[2]
Kartini merupakan putri dari ‘bijvrouw’ atau
selir. Ngasirah, demikian ibu kandung Kartini bukan merupakan keturunan
bangsawan. Ngasirah adalah anak seorang haji pedagang kopra yang dinikahi RMAA
Sosroningrat sewaktu masih menjabat sebagai wedana di Mayong.
Kartini adalah salah satu figur yang
mengambil peran aktif dalam perjuangan penuh pertentangan, sebagaimana
diungkapkan Suryano Sastroatmodjo dalam bukunya, Tragedi Kartini.
Raden Ajeng Kartini adalah salah satu figus
yang mengambil peran aktif dalam peran aktif dalam perjuangan penuh tantangan. Raden
Ajeng Kartini-seorang ningrat yang dalam jiwadan mata tekadnya apalagi
sebenar-benarnya memiliki kebagsawanan dalammakna yang sangat dalam.
Kebangsawanan darah, kebangsawanan pikir, dan hati.[3]
Perjuangan pemikiran yang digagas oleh
R.A Kartini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang pendidikan dan situasi
lingkungan dimana R.A Kartini Tinggal.
Setelah usia Kartini menginjak angka 6
tahun, Kartini dimasukan di sekolah Europese Legere School tahun 1885. Melalui
pendidikan yang singkat itu, Kartini dapat mengecap pengetahuan orang Barat
disamping dapat bergaul dengan anak-anak Belanda yang bebas. Selanjutnya Kartini tidak pernah duduk
dibangku sekolah yang lebih tinggi setelah tamat Europese Legere School,
Sekolah rendah Belanda.
Pada
saat Kartini masih menempuh pendidikan disekolah. Datang utusan dari Rembang
untuk mengantarkan surat lamaran dari Bupati Rembang, Djoyoadiningrat. Bupati
Djoyoadiningrat adalah seorang bupati yang modern dan perpikiran maju, namun
demikian keputusan sepenuhnya tetap diberikan kepada R.A Kartini. Menginjak
usia 12 tahun, Kartini dipingit sebagaimana perempuan Jawa pada umumnya.[4]
Pada
akhirnya Kartini terpaksa menempuh jalan yang menurut anggapan tradisional
sudah digariskan untuk wanita, yakni pernikahan. Namun kepada Bupati
Djoyoadiningrat, Kartini mengajukan 4 syarat.[5]
1.
Hendaknya perkawinan
dilaksanakan secara sederhana tanpa adat pesta
2.
Tidak sudi lagi
melakukan sungkem dan mencium kaki mempelai pria
3.
Karena suaminya telah
memiliki 6 orang anak. Maka pendidikan bagi anak sepenuhnya diserahkan pada
Kartini
4.
Tidak ada lagi selir
setelah pernikahan dilangsungkan.
Tepat pada tanggal 12 November 1903
Kartini melangsungkan pernikahannya dengan bupati Rembang. Adipati
Djoyoadingrat sebagai Bupati yang berpikiran modern masih mengizinkan Kartini
untuk tetap menulis,mengajar, dan berhubungan dengan kawan-kawan dari Belanda.
Namun demikian pernikahan Kartini tidak berlangsung lama. Karena kesehatan yang
memburuk, Kartini meninggal pada tanggal 17 September 1904 setelah melahirkan
bayi laki-laki yang diberi nama R.M Susalit.
B. Cita-Cita Kartini
Keingintahuan Kartini terhadap
pengetahuan dipuaskan dengan banyak membaca dan bergaul dengan orang-orang
Barat.[6]
Dengan pengetahuan inilah, Kartini dapat mengerti keterbelakangan dan
kemiskinan rakyat untuk kemudian berpikir bagaimana menaikan derajad rakyat. Ditengah
suasana hidup dalam pingitan, Kartini mencita-citakan kebebasan dan persamaan
sebagaimana gaya hidup dan pergaulan teman-temannya
dari Barat. Melihat keadaan bangsa khususnya keadaan perempuan dalam masyarakat
Jawa yang feodal, jiwa Kartini berontak.
“Dan
mengapakah kami merasa perlu tinggal untuk sementara waktu di Eropa ? Ialah
untuk membebaskan diri kami dari pengaruh-pengaruh mengganggu yang diberikan
oleh pendidikan Pribumi yang tidak dapat kami hindarkan ini ! Orang-orang Eropa
yang paling asingpun, sekalipun sebanyak satu batalyon, kata Dik R., tak gentar
kami menemuinya; terhadap seorang Jawa yang tak kami kenal, seorang
raja,larilah kami bersembunyi seperti siput didalam kepompong kami.
Kami
hendak bebaskan diri kami samasekali dari ikatan-ikatan yang melekat adat
kuno kami yang mau lekat saja ini, yang
pengaruhnya tak dapat kami hidari; segala prasangka yang mau lekat saja ini,
dan menghambat kemajuan kami akan kami bebaskan,agar jiwa kami menjadi segar
dan bebas, agar makin lebarlah sayap yang dapat dikepakan, demi kebaikan usaha
yang akan kami lakukan.
Itulah sebabnya
kami harus tinggal dilingkungan lain negeri asing dengan kebiasaan dan adatnya
serta keadaan-keadaan lain.”[7]
Harus diakui
disini bahwa pemikiran Kartini jauh mendahului zamannya. Pemikiran-pemikiran
untuk tabah demi mencapai suatu kebebasan, pemikiran tentang suatu konsep
demokrasi, serta sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun sekitar.
Gagasan emansipasi wanita dan perjuangan
untuk mewujudkannya terlihat dalam tulisan-tulisan Kartini. Dimana pada
akhirnya, Kartini menolak untuk mennyembah dan mencium kaki suaminya karena
dianggap perlakuakn sewena-wena terhadap kedudukan seorang wanita.
“Kaum lelaki
diberi sayap untuk terbang,sedangkan kami wanita ingin mempunyai sayappun tidak
diperkenankan, baru keinginan sudah dipatahkan, alangkah sedihnya kaum bangsa
perempuan”[8]
Keinginan adanya
persamaan antara laki-laki dan perempuan diwujudkan Kartini dengan
keinginananya untuk menuntut ilmu dinegeri Belanda.Hal ini disampaikan Kartini
kepada sahabatnya, Mr. JH Abendanon, meskipun niat ini akhirnya dibatalkan oleh
Kartini. Meskipun Kartini gagal
menuntut ilmu ke negeri Belanda, Kartini berhasil menghimpun sekolah pertama
bagi gadis-gadis Bumi Putera yang diselenggarakan di serambi pendopo belakang
Kabupaten Jepara.
Sumber :
Ki
Soeratman.(1979). “Kartini Dan Pendidikan”, Bunga
Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.
___________.(1979).
“Antara Fakta dan Fiksi”, Bunga Rampai
Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.
S.Takdir
Alisjahbana. (1979). Kebesaran dan Tragedi, Bunga
Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.
Suryono
Sastroatmodjo. (2005). Tragedi Kartini. Yogyakarta:
Narasi.
Tim.(ttp).
Riwayat Singkat R.A Kartini. Jepara:
Disparta Kab Dati II Jepara.
[1] Ki
Soeratman, “Kartini Dan Pendidikan”, Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1979), hlm.151
[2] Raden Ayu merupakan
gelar yang diberikan bagi keturunan bangsawan. Setelah menikah kemudian disebut
“padmi” atau istri pertama/resmi dan diberi gelar Raden Ayu. Ki Soeratman,
“Antara Fakta dan Fiksi”, Bunga Rampai
Karangan Mengenai Kartini, (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm.152.
[3] Suryono Sastroatmodjo, Tragedi Kartini, (Yogyakarta: Narasi,
2005), hlm. 3.
[5] Ibid., hlm 24.
[6]Suryanto sastroatmodjo, op.cit., hlm 38.
[7] S.Takdir Alisjahbana,
Kebesaran dan Tragedi, Bunga Rampai
Karangan Mengenai Kartini, (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hlm.118.
[8] Tim, op.cit., hlm 20
2 komentar:
Putri Ningrat Itu
"....mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? … Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? … kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya … Tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukanlah begitu Stella?"
Setidaknya, itulah seklumit kegelisahan (pergulatan) intelektual-spiritual seorang remaja putri ningrat dari pesisir Jawa Tengah itu. Kepada Stella, kawan karibnya dari negeri Belanda, ia mengadu. Konon, kegelisahanya itu muncul setelah putri ningrat itu pernah dimarahi dan dikeluarkan oleh guru ngajinya hanya karena ia mengajukan pertanyaan tentang makna tulisan-tulisan Arab yang dibacanya.
Kegelisahan putri ningrat itu pun berlanjut. Namun, kali ini ia mengadu kepada kawannya yang lain. Kepada Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan Agama, dan Kerajaan Hindia Belanda Saat itu, dia menulis bahwa sesungguhnya dia ingin sekali mengetahui kandungan Al-Quran.
“Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak tidak boleh mengerti apa artinya,” tulisnya.
Mengetahui kegelisahan kawannya itu, Abendanon merasa prihatin. Sehingga kemudian Abandenon mangajaknya dengan dialog yang hangat dan empatis. Sampai akhirya, kepada Abendanon, putri ningrat itu pernah menyatakan bahwa agamanya kini adalah agama Kasih Sayang, yang universal, menjiwai semua agama, dan bahkan melingkupi hidup seorang kafir.
“Maksud Tuhan kepada kita baik. Hidup ini diberikan kepada kita sebagai rahmat dan tidak sebagai beban; kita manusia sendiri umumnya membuatnya menjadi kesengsaraan dan penderitaan. Betapa baiknya maksud Pencipta kepada kita, paling baik kita rasakan dan kita ketahui apabila kita berada di alam bebas-Nya,” ungkapnya kepada Abendanon.
Semenjak itu, putri ningrat dari jawa itu meyakini dan mengemban agama kemanusian (cinta kasih). Namun, pemahamannya yang seperti itu tak berlangsung lama, setelah ia bertemu dengan seorang kiyai yang bernama Kiyai Sholeh Darat. Kiyai itu sanggup memuaskan setiap kegelisahan dan pertanyaan kritisnya.
Melalu perbincangan intensif dengan kiyai Sholeh Darat, ia akhirnya menyimpulkan bahwa jalan kepada Allah dan jalan ke arah kebebasan hanya satu. Siapa yang sesunggungahnya mengabdi kepada Allah tidak terikat kepada seseorang manusia pun, ia sebenarnya benar-benar bebas.
Dengan polosnya, ketika ia berada puncak kesadaran spiritualnya, putri ningrat itu mengatakan, “Kami tidak dapat mengatakan betapa tenang, betapa tentram hati kami sekarang. Betapa bahagia rasanya. Tiada kekhawatiran, tiada ketakutan lagi … Ada yang melindungi kami, yang selalu ada dekat kami … kami yakin itu.” Kemudian putri ningrat itu melanjutkan, “... yang kami cari itu dekat sekali: ia ada di dalam jiwa kita sendiri.”
Jadi, ngomong-ngomong soal putri ningrat itu, pelajaran apa yang bisa kita ambil? Yang jelas, satu hal yang sering dilupakan orang adalah pelajaran dari sisi spiritual pergulatan intelektualnya.[]wak
http://wakhadiwak.blogspot.com/2012/04/putri-ningrat-itu.html
sabung ayam online
Posting Komentar