Oleh: Waidkha Yuliati
Pengantar
Keterlibatan tentara dalam percaturan politik di Indonesia memiliki usia yang sama tuanya dengan sejarah berdirinya negeri ini. Hubungan sipil-militer di Indonesia telah terbentuk pada tahun-tahun pertama berdirinya republik. Sejak terbentuk hingga menduduki posisinya yang cukup dominan pada masa Orde Baru, angkatan bersenjata di Indonesia mengalami beberapa fase perkembangan. Pertama, peranan politik TNI mengusir penjajah masa revolusi; kedua, terus bertambahnya peranan setelah mendapat pengakuan kedaulatan diakhir revolusi; ketiga, munculnya berbagai tafsiran mengenai bagaimana seharusnya melaksanakan Dwifungsi serta kemungkinan perkembangannya dimasa mendatang.
Tentara Indonesia adalah tentara yang menciptakan dirinya sendiri. Mereka tidak diciptakan oleh pemerintah maupun sebuah partai politik. Tentara Indonesia terbentuk, mempersenjatai dan mengorganisasi diri hanya bermodalkan tenaga-tenaga muda yang telah mendapat pelatihan militer dan senjata-senjata hasil rampasan Jepang. Tindakan mengorganisasi secara mandiri ini dimengerti sebab adanya keengganan pemerintah pusat membentuk barisan tentara.
Kelahiran tentara yang bukan dari rahim pemerintah atau suatu partai politik tertentu, seringkali menimbulkan perbedaan kebijaksanaan pemerintah dan pimpinan tentara. Perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1948 menjadi cermin pertama perbedaan yang menyolok antara kebijaksanaan pemerintah dan tentara. Pada saat pimpinan pemerintah menyerah pada tentara kolonial Belanda yang kemudian menduduki republik, Panglima Soedirman memerintah Kolonel A.H Nasution untuk mempersiapkan tentara menghadapi kemungkinan serangan. A.H Nasution kemudian membentuk pemerintahan militer sebagai pelaksanaan atas instruksi tersebut.
Nasution menjadi pejabat militer sekaligus pejabat pemerintahan tertinggi untuk seluruh Jawa. Dibawah Nasution ada empat panglima divisi yang juga menjabat gubernur militer diwilayah masing-masing. Dibawah gubernur militer terdapat sejumlah STM (Sub Teritorium Militer) yang berkedudukan pararel dengan residen sebagai kepala karisidenan. Dibawah STM dibentuk KDM (Komando Distrik Militer) setingkat dengan bupati yang mengepalai sebuah kabupaten. Satu tingkat dibawah KDM yaitu kecamatan dipimpin oleh KODM (Komando Onder Distrik Militer).
Pengalaman perang gerilya, dengan tentara yang juga berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan pada gilirannya menjelma sebagai sebuah model untuk suatu hubungan sipil-militer. Model tersebut membulatkan konsepsi para pemimpin tentara mengenai bagaimana mereka harus berhubungan dengan golongan sipil. Pengalaman angkatan bersenjata pada zaman revolusi menempatkan tentara Indonesia dalam suatu posisi unik, yaitu posisi dimana angkatan bersenjata dapat leluasa memainkan peran politik.
Fondasi Doktrin Dwi Fungsi
Perang kemerdekaan yang diakhiri dengan persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) membawa krisis yang berlarut-larut. Kompromi dalam perang kemerdekaan ini, membawa pengaruh dalam bidang politik pada akhirnya. Sistem politik menurut UUD1945 secara formal disisihkan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS dan kemudian UUDS 1950. Kedua konstitusi ini sarat akan prinsip-prinsip demokrasi liberal.
Ketidakstabilan dalam pelaksanaan demokrasi liberal segera diikuti oleh instabilitas dan kegelisahan diberbagai bidang. Serangkaian pergolakan dalam tubuh angkatan bersenjata yang paling relevan adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. TNI-Angkatan Darat merasa bahwa diskusi dan mosi dikalangan parlemen merupakan tindakan campur tangan terhadap urusan intern angkatan bersenjata. Maka dibawah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), para senior TNI-AD mendesak Soekarno untuk mengambil alih pimpinan negara dan membubarkan parlemen. Gerakan tersebut gagal dengan penolakan Soekarno terhadap segala tuntutan Angkatan Darat.
Pergolakan berupa penolakan angkatan bersenjata tidak berakhir dengan penolakan tersebut. Akhir tahun 1955 dalam jabatan KSAD yang kedua, A.H Nasution menggariskan kebijaksanaan sebagai usaha penyelesaian. Kebijakan ini oleh seorang guru besar Universitas Indonesia, Profesor Djokosutono disebut “jalan tengah TNI”. Nasution benggariskan bahwa kita tak bisa menempatkan TNI sekedar sebagai ‘alat sipil’ saja sebagai demokrasi Barat, juga tidak hanya sebagai “rezim militer”.
Perumusan pertama mengenai Dwifungsi ABRI sejak prakteknya dilakukan dibawah pimpinan Panglima Jenderal Soedirman selama perang kemerdekaan. Pergolakan dalam tubuh angkatan bersenjata, Oktober 1952 dan kebijakan “jalan tengah” A. H Nasution merupakan tonggak sejarah penentuan posisi tersebut.
ABRI dalam Percaturan Politik Orde Baru
ABRI memiliki dua arah integrasi yaitu integrasi intra angkatan masing-masing dan integrasi antar angkatan. Pada tahun 1966, segera setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, TNI-AD menyelenggarakan seminar oleh Seskoad Bandung. Sesuai dengan Dwifungsi ABRI, hasil-hasil seminar mencakup bidang pertahanan-kemananan dan bidang sosial-politik. Tetapi jika dilihat kuantitasnya, nampak bahwa hasil-hasil dibidang sospol lebih banyak daripada bidang hankam.
Keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 132/1967 disusul dengan Keppres No. 79/1967 dan kemudian dilengkapi dengan peraturan-peraturan lain mengharuskan ABRI melakukan integrasi struktural. Peranan sosial politik diluar wewenang pertahanan dan keamanan menurut keputusan tersebut menimbulkan berbagai opini dan kritik dari masyarakat. Kritik yang ada, militer tidak lagi memberikan harapan kepada kekuatan sosial politik lain untuk menjalankan kepemimpinan negara ini.
Wewenang struktural operasional dalam integrasi ABRI dipusatkan pada Menteri Hankam/Panglima Angkatan Bersenjata (Men Hankam/Pangab). Men Hankam didampingi oleh Wakil Panglima Angkatan Bersenjata (Wapangab). Garis komando turun kebawah kepada para panglima Komando wilayah pertahanan (Kowilhan), dan terus kebawah kepada Komando pelaksana operasional (Kolakpos) yakni komando-komando daerah angkatan (Kodam, Kodaeral, Kodam). Para kepala staf angkatan Darat (AD, AL, dan AU) mempunyai wewenang pembinaan.
Pembinaan fungsi sospol diselenggarakan oleh Dewan Kekaryaan Pusat (Wankarpus) yang ketuai oleh Men Hankam /Pangab dengan Wapangab sebagai wakilnya. Yang menjadi anggota Dewan adalah para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri maupun Kepala Staf Kekaryaan Hankam. Sekretaris dijabat oleh Asisten Sospol Hankam. Di tingkat wilayah, pembinaan fungsi sospol diselengarakan oleh Dewan Kekaryaan Wilayah (Wankarwil) yang diketuai oleh Panglima Kowilham dengan Wakil Panglima sebagai wakil ketuanya. Anggota-anggota Dewan adalah para panglima komando daerah. Sekretaris dijabat oleh seorang perwira tinggi yang khusus diangkat untuk jabatan tersebut.
Pimpinan tertinggi pada masa Orde Baru memang berada ditangan mandataris MPR. Departemen-departemen memang tidak seluruhnya dijabat oleh ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam jabatan sosial politik pemerintahan cukup besar. Bahkan sekitar tahun 1960-an ABRI mendapat jatah 100 kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Hal ini dinilai sebagai awal dari rentetan kompromi pelaksanaan dwifungsi.
Posisi ABRI yang menuai kritik salah satunya adalah hubungan ABRI dengan partai-partai politik dan Golongan Karya (Golkar) yang terlalu dekat. ABRI sebagai aparatur pemerintah yang independen, seharusnya berdiri diatas semua golongan dalam masyarakat, terutama menjelang dan pada saat pemilu.
Sebagaimana diuraikan diatas, pelaksanaan Dwifungsi pada masa orde baru berbeda dengan Dwifungsi sebagaimana dikonsepkan oleh Panglima Besar Soedirman dan Jenderal A.H Nasution. Meskipun tidak banyak dari golongan sipil yang terlibat aksi protes, kritik secara terbuka sempat dilancarkan mahasiswa melalui gerakan tahun 1978. Kritik tersebut bukan terhadap dwifungsi melainkan terhadap penyalahtafsiran Dwifungsi dan tuntutan pemurnian dwifungsi.
Kesimpulan
ABRI hidup dalam suatu vacuum, pelaksanaan fungsi sosial politik dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berubah. Pada masa periode Orde Baru, ABRI memiliki peranan sosial politik yang cukup besar. Doktrin dwifungsi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru berbeda dengan dwifungsi sebagaimana dikonsepkan oleh Jenderal A.H Nasution dan praktek dwifungsi pada masa perang kemerdekaan.
ABRI dalam percaturan politik Orde Baru dekat dengan partai-partai politik, khususnya Golkar sebagaimana yang dikritik oleh kalangan militer yang tidak sependapat. ABRI seharusnya cukup menduduki jabatan MPR tidak perlu aktif dalam kegiatan politik sehari-hari. Namun faktanya, sekitar tahun 1960-an ABRI menduduki 100 kursi jabatan DPR.
Sumber:
Nugroho Notosusanto. 1979. “Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia”, Prisma. Jakarta:LP3ES.
Sumber Pembanding:
Sutopo Juwono. 1983. “ Peranan dan Batas Dwifungsi ABRI”, Prisma. Jakarta: LP3ES.
Salim Said. 1987. “ Tentara Nasional Indonesia Dalam Politik Dulu, Sekarang, dan Masa Datang”. Prisma. Jakarta: LP3ES.
Perang kemerdekaan yang diakhiri dengan persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) membawa krisis yang berlarut-larut. Kompromi dalam perang kemerdekaan ini, membawa pengaruh dalam bidang politik pada akhirnya. Sistem politik menurut UUD1945 secara formal disisihkan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS dan kemudian UUDS 1950. Kedua konstitusi ini sarat akan prinsip-prinsip demokrasi liberal.
Ketidakstabilan dalam pelaksanaan demokrasi liberal segera diikuti oleh instabilitas dan kegelisahan diberbagai bidang. Serangkaian pergolakan dalam tubuh angkatan bersenjata yang paling relevan adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. TNI-Angkatan Darat merasa bahwa diskusi dan mosi dikalangan parlemen merupakan tindakan campur tangan terhadap urusan intern angkatan bersenjata. Maka dibawah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), para senior TNI-AD mendesak Soekarno untuk mengambil alih pimpinan negara dan membubarkan parlemen. Gerakan tersebut gagal dengan penolakan Soekarno terhadap segala tuntutan Angkatan Darat.
Pergolakan berupa penolakan angkatan bersenjata tidak berakhir dengan penolakan tersebut. Akhir tahun 1955 dalam jabatan KSAD yang kedua, A.H Nasution menggariskan kebijaksanaan sebagai usaha penyelesaian. Kebijakan ini oleh seorang guru besar Universitas Indonesia, Profesor Djokosutono disebut “jalan tengah TNI”. Nasution benggariskan bahwa kita tak bisa menempatkan TNI sekedar sebagai ‘alat sipil’ saja sebagai demokrasi Barat, juga tidak hanya sebagai “rezim militer”.
Perumusan pertama mengenai Dwifungsi ABRI sejak prakteknya dilakukan dibawah pimpinan Panglima Jenderal Soedirman selama perang kemerdekaan. Pergolakan dalam tubuh angkatan bersenjata, Oktober 1952 dan kebijakan “jalan tengah” A. H Nasution merupakan tonggak sejarah penentuan posisi tersebut.
ABRI dalam Percaturan Politik Orde Baru
ABRI memiliki dua arah integrasi yaitu integrasi intra angkatan masing-masing dan integrasi antar angkatan. Pada tahun 1966, segera setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, TNI-AD menyelenggarakan seminar oleh Seskoad Bandung. Sesuai dengan Dwifungsi ABRI, hasil-hasil seminar mencakup bidang pertahanan-kemananan dan bidang sosial-politik. Tetapi jika dilihat kuantitasnya, nampak bahwa hasil-hasil dibidang sospol lebih banyak daripada bidang hankam.
Keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 132/1967 disusul dengan Keppres No. 79/1967 dan kemudian dilengkapi dengan peraturan-peraturan lain mengharuskan ABRI melakukan integrasi struktural. Peranan sosial politik diluar wewenang pertahanan dan keamanan menurut keputusan tersebut menimbulkan berbagai opini dan kritik dari masyarakat. Kritik yang ada, militer tidak lagi memberikan harapan kepada kekuatan sosial politik lain untuk menjalankan kepemimpinan negara ini.
Wewenang struktural operasional dalam integrasi ABRI dipusatkan pada Menteri Hankam/Panglima Angkatan Bersenjata (Men Hankam/Pangab). Men Hankam didampingi oleh Wakil Panglima Angkatan Bersenjata (Wapangab). Garis komando turun kebawah kepada para panglima Komando wilayah pertahanan (Kowilhan), dan terus kebawah kepada Komando pelaksana operasional (Kolakpos) yakni komando-komando daerah angkatan (Kodam, Kodaeral, Kodam). Para kepala staf angkatan Darat (AD, AL, dan AU) mempunyai wewenang pembinaan.
Pembinaan fungsi sospol diselenggarakan oleh Dewan Kekaryaan Pusat (Wankarpus) yang ketuai oleh Men Hankam /Pangab dengan Wapangab sebagai wakilnya. Yang menjadi anggota Dewan adalah para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri maupun Kepala Staf Kekaryaan Hankam. Sekretaris dijabat oleh Asisten Sospol Hankam. Di tingkat wilayah, pembinaan fungsi sospol diselengarakan oleh Dewan Kekaryaan Wilayah (Wankarwil) yang diketuai oleh Panglima Kowilham dengan Wakil Panglima sebagai wakil ketuanya. Anggota-anggota Dewan adalah para panglima komando daerah. Sekretaris dijabat oleh seorang perwira tinggi yang khusus diangkat untuk jabatan tersebut.
Pimpinan tertinggi pada masa Orde Baru memang berada ditangan mandataris MPR. Departemen-departemen memang tidak seluruhnya dijabat oleh ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam jabatan sosial politik pemerintahan cukup besar. Bahkan sekitar tahun 1960-an ABRI mendapat jatah 100 kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Hal ini dinilai sebagai awal dari rentetan kompromi pelaksanaan dwifungsi.
Posisi ABRI yang menuai kritik salah satunya adalah hubungan ABRI dengan partai-partai politik dan Golongan Karya (Golkar) yang terlalu dekat. ABRI sebagai aparatur pemerintah yang independen, seharusnya berdiri diatas semua golongan dalam masyarakat, terutama menjelang dan pada saat pemilu.
Sebagaimana diuraikan diatas, pelaksanaan Dwifungsi pada masa orde baru berbeda dengan Dwifungsi sebagaimana dikonsepkan oleh Panglima Besar Soedirman dan Jenderal A.H Nasution. Meskipun tidak banyak dari golongan sipil yang terlibat aksi protes, kritik secara terbuka sempat dilancarkan mahasiswa melalui gerakan tahun 1978. Kritik tersebut bukan terhadap dwifungsi melainkan terhadap penyalahtafsiran Dwifungsi dan tuntutan pemurnian dwifungsi.
Kesimpulan
ABRI hidup dalam suatu vacuum, pelaksanaan fungsi sosial politik dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang berubah. Pada masa periode Orde Baru, ABRI memiliki peranan sosial politik yang cukup besar. Doktrin dwifungsi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru berbeda dengan dwifungsi sebagaimana dikonsepkan oleh Jenderal A.H Nasution dan praktek dwifungsi pada masa perang kemerdekaan.
ABRI dalam percaturan politik Orde Baru dekat dengan partai-partai politik, khususnya Golkar sebagaimana yang dikritik oleh kalangan militer yang tidak sependapat. ABRI seharusnya cukup menduduki jabatan MPR tidak perlu aktif dalam kegiatan politik sehari-hari. Namun faktanya, sekitar tahun 1960-an ABRI menduduki 100 kursi jabatan DPR.
Sumber:
Nugroho Notosusanto. 1979. “Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik di Indonesia”, Prisma. Jakarta:LP3ES.
Sumber Pembanding:
Sutopo Juwono. 1983. “ Peranan dan Batas Dwifungsi ABRI”, Prisma. Jakarta: LP3ES.
Salim Said. 1987. “ Tentara Nasional Indonesia Dalam Politik Dulu, Sekarang, dan Masa Datang”. Prisma. Jakarta: LP3ES.
1 komentar:
thanks, i really need this :D
Posting Komentar