Oleh: Waidkha Yuliati
Kaum abangan dewasa ini sering digunakan untuk menyebut masyarakat yang rela memeluk Islam, naun tetap bertahan membiarkan dirinya larut kedalam kepercayaan dan ritus-ritus lama yang seudah berurat akar sampai ratusan tahun. Secara etimologis, kata abangan berasalal dari bahas Jaba abang yang berarti merah. Seperti merahnya kulit anak baru lahir atau jabang bayi. Kata abangan kemudian mengandung makna konotatif, yaitu orang-orang yang masih ‘baru’ dalam keislamannya.. Mereka ini yang dikenal sebagai Islam nominal atau lebih popular dikalangan santri dengan istilah golongan abangan.
Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut. Didaerah-daerah Pantai Utara, tempat kebudayaan Hindu kurang berpengaruh, Islam lebih kuat dan mampu merembes dalam kehidupan social paguyuban santri. Sebaliknya, ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah dating lebih dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antithesis bagi golongan santri. Menurut pendapat orang Jawa, seperti yang juga diterangkan oleh Koentjaraningrat istilah santri dan abangan hanya menujuk kepada dua varian religious dalam kebudayaan Jawa. Penggolongan secara horizontal antara golongan santri dan abangan pasti merupakan garis antar-kategori yang bersifat nisbi. Kiprah golongan abangan dalam perpolitikan Indonesia diwakili dalam gerakan komunis atau gerakan Nasionalis.
Kaum Abangan Dan Peranannya Dalam Politik
Persatuan dalam Sarekat Islam tahun 1920-an diwujudkan berdasarkan ideologi Islam. Sebagaimana dirinci pada anggaran dasarnya ”…Hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat diterima dan bahwa pangreh praja sebanyak mungkin harus ditolak dalam keanggotaan tersebut. Sikap para abangan yang netral secara religius kemudian menyimpang kekiri.
Sikap golongan abangan yang menyimpang kekiri tidak berhenti sampai disini. Protes kaum abangan berlanjut menuju revolusi sosialis, bukan revolusi demokrat nasional. Kemudian para abangan secara konsekuen menentang kerja sama dengan gerakan-gerakan non-Komunis dan mengemukakan alasan bahwa gerakan mereka pada hakekatnya bukan bourgeois dan bukan nasionalis
Kekuatan politik abangan dalam wadah gerakan komunis dan nasionalis mulai bergerak sejajar dengan gerakan kaum santri. Setelah terjadi perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam, SI Merah yang digawangi oleh kaum abangan pada kongres-nya di Semarang tahun 1922 memutuskan untuk mendirikan markas-markas Sarekat Islam Merah dan terus menyebarkan pengaruh komunis. Satuan-satuan yang dipegang oleh Komunis berubah dinamakan Sarekat Rakyat.
Pada dasarnya sikap netral terhadap agama diantara kaum abangan, termasuk didalamya kaum nasionalis merupakan hasil dari pendidikan Belanda. Kaum yang bersifat netral terhadap agama menyetujui adanya pemisahan antara negara dan agama. Kaum nasionalis yang berpendidikan Barat tampil dengan semboyan kebangsaan. Kebangsaan yang dimaksud adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang agama dan suku bangsa.
Pada tahun 1927, Soekarno sebagai golongan nasionalis mendirikan Partai Nasional Indonesia. Soekarno terus menerus menegaskan bahwa PNI tidak dapat menjadikan Islam sebagai dasar sebab kemerdekaan adalah tujuan seluruh bangsa Indonesia tanpa memandang suku dan agama.
“…Suatu negara seperti Indonesia, hanya akan ada dua pilihan; persatuan antara agama dan negara tetapi tanpa demokrasi atau demokrasi tetapi negara terpisah dari agama.
Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan pada intinya bersifat netral terhadap agama. Mereka menyetujui pemisahan antara agama dan negara, agama merupakan urusan perseorangan.
Penutup
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antitesis bagi golongan santri. Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut. Ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah datang lebih dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Gerakan politik kaum abangan diwakili dalam gerakan komunis dan abangan. Bertenatangan dengan para santri, para nasionalis yang bersifa netral terhadap agama mengambil pendirian yang menyutujui pemisahan antara agama dan negara.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, ‘Pembitjaraan Buku Clifford Geertz”.
Masroer Ch.Jb. 2004. The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zaini Muchtarom.1988. Santri Dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut. Didaerah-daerah Pantai Utara, tempat kebudayaan Hindu kurang berpengaruh, Islam lebih kuat dan mampu merembes dalam kehidupan social paguyuban santri. Sebaliknya, ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah dating lebih dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antithesis bagi golongan santri. Menurut pendapat orang Jawa, seperti yang juga diterangkan oleh Koentjaraningrat istilah santri dan abangan hanya menujuk kepada dua varian religious dalam kebudayaan Jawa. Penggolongan secara horizontal antara golongan santri dan abangan pasti merupakan garis antar-kategori yang bersifat nisbi. Kiprah golongan abangan dalam perpolitikan Indonesia diwakili dalam gerakan komunis atau gerakan Nasionalis.
Kaum Abangan Dan Peranannya Dalam Politik
Persatuan dalam Sarekat Islam tahun 1920-an diwujudkan berdasarkan ideologi Islam. Sebagaimana dirinci pada anggaran dasarnya ”…Hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat diterima dan bahwa pangreh praja sebanyak mungkin harus ditolak dalam keanggotaan tersebut. Sikap para abangan yang netral secara religius kemudian menyimpang kekiri.
Sikap golongan abangan yang menyimpang kekiri tidak berhenti sampai disini. Protes kaum abangan berlanjut menuju revolusi sosialis, bukan revolusi demokrat nasional. Kemudian para abangan secara konsekuen menentang kerja sama dengan gerakan-gerakan non-Komunis dan mengemukakan alasan bahwa gerakan mereka pada hakekatnya bukan bourgeois dan bukan nasionalis
Kekuatan politik abangan dalam wadah gerakan komunis dan nasionalis mulai bergerak sejajar dengan gerakan kaum santri. Setelah terjadi perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam, SI Merah yang digawangi oleh kaum abangan pada kongres-nya di Semarang tahun 1922 memutuskan untuk mendirikan markas-markas Sarekat Islam Merah dan terus menyebarkan pengaruh komunis. Satuan-satuan yang dipegang oleh Komunis berubah dinamakan Sarekat Rakyat.
Pada dasarnya sikap netral terhadap agama diantara kaum abangan, termasuk didalamya kaum nasionalis merupakan hasil dari pendidikan Belanda. Kaum yang bersifat netral terhadap agama menyetujui adanya pemisahan antara negara dan agama. Kaum nasionalis yang berpendidikan Barat tampil dengan semboyan kebangsaan. Kebangsaan yang dimaksud adalah semboyan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang agama dan suku bangsa.
Pada tahun 1927, Soekarno sebagai golongan nasionalis mendirikan Partai Nasional Indonesia. Soekarno terus menerus menegaskan bahwa PNI tidak dapat menjadikan Islam sebagai dasar sebab kemerdekaan adalah tujuan seluruh bangsa Indonesia tanpa memandang suku dan agama.
“…Suatu negara seperti Indonesia, hanya akan ada dua pilihan; persatuan antara agama dan negara tetapi tanpa demokrasi atau demokrasi tetapi negara terpisah dari agama.
Kaum nasionalis yang mewakili golongan abangan pada intinya bersifat netral terhadap agama. Mereka menyetujui pemisahan antara agama dan negara, agama merupakan urusan perseorangan.
Penutup
Golongan abangan merupakan padanan, bukan antitesis bagi golongan santri. Lahirnya golongan abangan, khususnya di Jawa tidak dapat dipisahkan dari struktur pengislaman di Jawa. Hal tersebut berhubungan dengan kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan bagi golongan-golongan tersebut. Ditempat-tempat dimana agama Hindu masih kuat berpengaruh, Islam cenderung mencari kompromi. Hal tersebut berarti bahwa, Islam sadar untuk menciptakan sintesis dengan faktor-faktor budayawi lain yang telah datang lebih dulu. Hasilnya berupa Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan.
Gerakan politik kaum abangan diwakili dalam gerakan komunis dan abangan. Bertenatangan dengan para santri, para nasionalis yang bersifa netral terhadap agama mengambil pendirian yang menyutujui pemisahan antara agama dan negara.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, ‘Pembitjaraan Buku Clifford Geertz”.
Masroer Ch.Jb. 2004. The History Of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zaini Muchtarom.1988. Santri Dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.
0 komentar:
Posting Komentar