Jurnalis harus bisa
berdiri sendiri juga yang keras hati dan tidakboleh main komidi guna mencari
enak sendiri (Marco Kartodikromo,Sinar Hindia, 14 Agustus 1918)
Oleh
:Waidkha Yuliati
Pendahuluan
Aktifitas
politik tidak selamanya ditempuh melalui tahapan jenjang dan kemudian terjun
mendirikan atau bergabung dengan organisi pergerakan. Bidang pers kemudian
banyak dipilih sebagai alternatif sarana
perjuangan. Gagasan pemikiran tentang kondisi sosial masyarakat dan kedudukan
pemerintah kolonial digali dan kemudian disuarakan melalui pers. Pers dapat
berdiri sendiri, namun dalam praktiknya pers kemudian tidak dapat dipisahkan
dari organisasi-organisasi pergerakan.
Pers
memiliki posisi vital pada masa pergerakan nasional. Seiring berjalannya roda
modernisasi dan menggeloranya ide nasionalisme, kebutuhan akan informasi
mendorong meningkanya penyebaran komunikasi massa melalui media cetak.
Tokoh-tokoh perintis kemerdekaan menyuarakan gagasan-gagasan persamaan dan kebebasan
dengan tetap memegang teguh prisip pergerakan. Salah seorang yang patut
diperhitungkan adalah Mas Marco Kartodikromo sebagai tokoh perintis jurnalis
pemegang prinsip pergerakan.
Biografi Singkat Marco Katodikromo
Marco
Kartodikromo lahir di Cepu pada tanggal 25 Maret 1897. Marco membangun
aktivitas politik pada zaman kemerdekaan tidak melalui jenjang pendidikan
sekolah sebagaiamana lazimnya pemimpin pergerakan lainnya. Marco Kartodikromo
membangun aktivitas politik melalui dua media yakni pers dan penjara. Marco Kartodikromo memilih pers justru karena
bidang tersebut pada saat itu memiliki kebebasan yang sangat terbatas dari
Pemerintah Kolonial.
Pendidikan Barat yang ditempuh Marco
Kartodikromo lebih rendah jika dibandingkan pemimpin-pemimpin pergerakan
lainnya. Marco Kartodikromo tidak dapat dibandingkan dengan Tjipto
Mangoenkoesoma, Darsono, Soewardi, atau Tjokroaminoto yang semuanya lulusan
ELS, HBS, dan Stovia. Pendidikan Barat yang ditempuh, membuat mereka tidak
hanya mampu berbicara dengan Bahasa Belanda namun mereka juga terampil
menungkan ide-ide dalam Bahasa Belanda. Tulisan-tulisan Marco Kartidikromo yang
hanya memperoleh pendidikan sekolah dasar Umum Angka Dua di Bojonegoro
kebanyakan hanya menggunakan bahasa Melayu bercampur Jawa.
Awal keterlibatan Marco dibidang Pers adalah menjadi pembantu redaktur
majalah Medan Prijaji (MP) di Bandung
tahun 1912. Keterlibatan Marco di dunia pers semakin matang melalui kiprahnya
dalam surat kabar Doenia Bergerak (DB)
yang dipimpinnya. Namun akibat tiga buah artikel dalam majalah Doenia Bergerak yang bertemakan
ketidakbenaran orde kolonial, Marco untuk pertama kalinya terkena persdelict (delikpers).
Hukuman penjara selama 8 bulan (Juli
1915-Maret1916) akibat delikpers yang pertama, kemudian berlanjut dengan
hukuman-hukuman lain. Marco Kartodikromo menjalani berbagai pidana baik hukuman
penjara maupun pidana pembuangan. Pemerintah kolonial bertindak, bagaimana agar
tokoh pergerakan terputus dari duniannya di Hindia Belanda.
Marco menerima pidana pembuangan di Kamp
Konsentrasi Digul tahun 1927. Kamp konsentrasi Digul yang jauh dari tanah
kelahiran, menyebabkan sulitnya penelusuran terhadap detik-detik akhir
perjalanan politiknya. Aktifitas politik diluar tertutup bagi Marco Kartodikromo. Akibat penyakit
malaria dan paru-paru yang dideritanya, Marco Kartodikromo meninggal dalam
pembuangan tahun 1932.
Jurnalis Pemegang Prinsip Pergerakan
Masuknya modal asing yang mengalir ke Hindia Belanda
menyebabkan perubahan dalam cara produksi dan kehidupan masyarakat pada
umumnya. Masuknya jaringan kereta api membuat penduduk bumiputera terutama di
Jawa, dapat bergerak leluasa dari satu kota ke kota lainnya. Kota-kota yang
dilalui jalur kereta api berkembang dan melahirkan berbagai produk-produk
gagasan seperti surat kabar, jurnal,buku, novel, teater dan lagu.
Memasuki abad XX terutama pada tahun 1906 ketika
undang-undang baru pers memberlakukan sensor, jumlah dan sirkulasi surat kabar
berkala berbahasa melayu meningkat. Meskipun tidak tersedia data tentang
sirkulasi barang cetakan melalui jasa pos, namun secara umum sejak tahun 1890
sampai 1910 presentasi bertambah senilai 370 %. Selain industri pers Cina yang
meningkat, jurnalisme orang-orang pribumi pun turut ambil bagian.
Kemunculan jurnalis-jurnalis pribumi dengan menulis
artikel, memberikan komentar surat pembaca, dan menyunting surat kabar boleh
dikatakan sedang memimpin sebuah “embrio bangsa” dan mengekspresikan
solidaritas pembaca sebagai kaum pribumi. Kemunculan jurnalis dan perkebangan percetakan
juga merupakan kunci terjalinnya hubungan antara pemimpin pergerakan dan para
pembaca yang tidak dikenalnya. Tanpa adanya alat untuk menyampaikan gagasan
kepada para pendengarnya maka pergerakan tidak akan pernah lahir. Inilah yang
kemudian dikatakan bahwa industri pers mampu berdiri sendiri, namun
keberadaannya kemudian tidak dapat dipisahkan dari organisasi-organisai
pergerakan.
Awal keterlibatan Marco dalam dunia jurnalistik
dimulai dengan keikutsertaannya dalam redaktur pendamping majalah Medan Pr ijaji (MP).